Di Meja Perjamuan Suci
Bahan bacaan lanjutan
Pranala ke artikel terkait
Kaisar Romawi Suci (bahasa Jerman: Römisch-deutscher Kaiser, bahasa Latin: Romanorum Imperator) adalah penguasa dari Kekaisaran Romawi Suci. Dari otokrasi pada masa Karolingia gelar ini berevolusi menjadi sebuah Monarki pemilihan. Di mana yang berhak memilih adalah para Pangeran-elektor. Ada juga sebuah Reformasi di mana dalam pemilihan kaisar (imperator electus) dibutukan juga izin dari Paus sebelum bisa bertakhta dengan gelar tersebut.
Mereka yang menyandang gelar ini memiliki hubungan dengan takhta Kerajaan Jerman dan Kerajaan Italia (Kekaisaran Italia Utara).[1][2][3] Berdasarkan Teori, Kaisar Romawi Suci adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sejajar) di antara monarki-monarki Katolik Roma; dalam praktiknya, seorang Kaisar Romawi Suci hanya berpengaruh pada pasukan yang ia punya dan para aliansinya.
Beberapa wangsa yang ada di Eropa, dalam waktu berbeda secara turun temurun menjadi pemegang gelar ini, terutama pada masa Habsburg. Setelah Reformasi Protestan, beberapa negara pembentuk kekaisaran ini berubah haluan menjadi Protestan, walaupun Kekaisaran Romawi Suci tetap berhaluan Katolik. Gelar ini dihapus oleh Franz II yang merupakan kaisar terakhir. Gelar ini dihapus karena dampak dari Perang Napoleon.
Informasi lebih lanjut:
Gelar ini ada dari masa kekuasaan Konstantinus I, pada abad ke-4 Masehi sebagai Kaisar Romawi, yang dikenal sebagai pendukung dan pelindung Kristen. Gelar Kaisar ini menjadi tidak berlaku di Eropa Barat setelah Romulus Augustulus turun takhta pada tahun 476. Di timur, gelar dan hubungan antara Kaisar dan Gereja berlanjut hingga tahun 1453, saat kekaisaran jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman. Sedangkan di barat, gelar Kaisar (bahasa Latin: Imperator) di huidupkan kembali pada tahun 800, bersamaan dengan adanya bentuk kerjasama antara kekaisaran dan kepausan. Seiring dengan pertumbuhan kekuasaan Paus selama Abad Pertengahan, pihak paus dan kekaisaran mengalami konflik yang disebabkan tumpang tindih administrasi dan kebijakan gereja. Yang terkenal salah satunya adalah, Kontroversi Penobatan, yang terjadi antara Henry IV dan Paus Gregorius VII.
Setelah Charlemagne dimahkotai sebagai Kaisar Romawi (bahasa Latin: Imperator Romanorum) oleh Paus, keturunan dan penerusnya mempertahankan gelar ini hingga kematian Berengar I dari Italia pada tahun 924. Tidak ada Paus lagi yang menunjuk Kaisar hingga penobatan Otto yang Agung pada 962. Di bawah Otto dan para penerusnya, banyak dari bagian Kekaisaran Karolingia, yaitu Kerajaan Francia Timur jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi Suci. Beberapa pangeran Jermanik memilih salah satu rekan mereka (sesama pangeran) menjadi Raja Jerman, setelah itu ia akan di mahkotai sebagai Kaisar oleh Paus. Setelah penobatan Karl V, semua kaisar secara resmi adalah pilihan kekaisaran karena penobatan oleh Paus dirasa kurang resmi.
Istilah sacrum (atau "suci") yang berkaitan dengan Kekaisaran Romawi pada abad pertengahan pertama kali digunakan pada tahun 1157 di bawah Frederick I Barbarossa.[4] Karl V adalah Kaisar Romawi Suci terkahir yang dimahkotai oleh Paus (1530). Dan Kaisar Romawi Suci terpilih terakhir, Francis II, turun takhta pada 1806 saat Perang Napoleon.
Acuan penobatan yang digunakan dalam gelar ini adalah Kaisar Romawi Augustus (Romanorum Imperator Augustus). Saat Charlemagne dimahkotai pada tahun 800, ia memiliki gaya gelar "Augustus yang paling menentramkan, dimahkotai Tuhan, Kaisar yang hebat dan meneduhkan, memerintah Kekaisaran Romawi" sehingga muncul unsur-unsur "Suci" dan "Romawi" di gelar kekaisaran. Kata Suci ini meskipun dikenal luas, tidak pernah digunakan dalam dokumen resmi.[5]
Kata Romawi sendiri adalah refleksi dari prinsip translatio imperii (transfer kekuasaan) yang menganggap Kaisar Romawi Suci dari kalangan Jermanik adalah pewaris gelar Kaisar dari Kekaisaran Romawi Barat, meskipun sebenarnya keberlanjutan itu ada di Kekaisaran Timur.
Daftar ini mencakup semua Kaisar Kekaisaran Romawi Suci, baik apakah mereka menggunakan gelar Kaisar Romawi Suci atau tidak. Banyak beberapa pengecualian terkait daftar ini. Contohnya, Heinrich sang Pemburu Burung adalah Raja Jerman namun bukan seorang Kaisar. Kaisar Heinrich II masuk ke daftar karena ia menjadi suksesor Raja Jerman. Dinasti Guideschi masuk ke daftar sebagai pemegang kekuasaan Kadipaten Spoleto.[butuh rujukan]
Historiografi tradisional mengklaim keberlanjutan antara Kekaisaran Karolingia dan Kekaisaran Romawi Suci. Hal ini ditolak oleh beberapa sejarawan modern, yang menyatakan bahwa pendirian Kekaisaran Romawi Suci adalah pada tahun 962.[butuh rujukan] Para Kaisar sebelum tahun 962 adalah:
Tidak ada kaisar pada priode 924 hingga 962.
Kekaisaran Romawi Suci,[e] yang juga dikenal dengan nama Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman selepas tahun 1512, adalah negara dengan wilayah yang membentang dari Eropa Tengah ke Eropa Barat dan lazimnya dikepalai oleh Kaisar Romawi Suci.[19] Negara ini terbentuk pada Awal Abad Pertengahan dan berdiri selama hampir 1.000 tahun, sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1806 di tengah hiruk-pikuk perang-perang Napoleon.[20]
Pada tanggal 25 Desember 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Eropa Barat selang tiga abad lebih sesudah Kekaisaran Romawi Barat tumbang pada tahun 476.[21] Meskipun sudah ditanggalkan pada tahun 924, gelar itu kembali disandang Otto Agung saat dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII pada tahun 962, dengan maksud untuk mencitrakan dirinya sebagai penerus Karel Agung dan raja-raja kulawangsa Karling. Penobatan Otto Agung menjadi tonggak sejarah yang mengawali kurun waktu tegaknya kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci secara berkesinambungan selama delapan abad lebih.[23][f] Dari tahun 962 hingga abad ke-12, Kekaisaran Romawi Suci tampil sebagai negara monarki terkuat di bumi Eropa.[25] Kelancaran penyelenggaraan negara bergantung kepada kerjasama yang rukun di antara kaisar dan para pangeran praja.[26] Kerukunan tersebut sempat terusik pada zaman kulawangsa Sali.[27] Ketangguhan negara dan keluasan wilayah Kekaisaran Romawi Suci mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-13 di bawah pemerintahan raja-raja kulawangsa Hohenstaufen, tetapi justru bentang wilayah yang kelewat luaslah yang kemudian hari mengeroposkan kedaulatannya.[28]
Para sarjana pada umumnya menjabarkan evolusi lembaga-lembaga dan asas-asas yang membentuk negara ini, serta perkembangan berangsur dari peran kaisar. Jabatan kaisar sudah lama terlembagakan sebelum negara ini dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, tetapi keabsahan kaisar sejak semula selalu ditumpukan pada konsep translatio imperii, yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu. Terlepas dari semua itu, sudah menjadi adat di Kekaisaran Romawi Suci bahwa seseorang menjadi kaisar karena dipilih oleh para pangeran-pemilih yang berkebangsaan Jerman. Secara teori dan diplomasi, Kaisar Romawi Suci dipandang sebagai tokoh yang dituakan di antara seluruh kepala negara monarki Katolik Eropa.
Ikhtiar Pembaharuan Negara pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mengubah wajah Kekaisaran Romawi Suci. Ikhtiar tersebut melahirkan berbagai lembaga pemerintahan yang terus bertahan sampai negara ini bubar pada abad ke-19. Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kekaisaran Romawi Suci selepas Pembaharuan Negara merupakan badan politik dengan keberlanjutan dan kemapanan yang luar biasa, serta "dalam beberapa segi mencerminkan pemerintahan-pemerintahan monarki di kawasan barat Eropa, dan dalam beberapa segi yang lain mencerminkan pemerintahan-pemerintahan elektif dengan persatuan yang renggang di kawasan tengah Eropa." Di negara bangsa Jerman yang sudah diperbaharui itu, alih-alih patuh begitu saja kepada kaisar, orang justru berunding dengan kaisar. Pada tanggal 6 Agustus 1806, Kaisar Frans II meletakkan jabatan dan secara resmi membubarkan Kekaisaran Romawi Suci, menyusul pembentukan Konfederasi Rhein oleh Napoleon sebulan sebelumnya, yakni perserikatan negara-negara Jerman yang berkhidmat kepada Prancis, alih-alih bertuan kepada Kaisar Romawi Suci.
Dari zaman Karel Agung, negara ini hanya disebut Kekaisaran Romawi. Embel-embel Suci (dalam arti "dikuduskan") mulai dipakai pada tahun 1157, masa pemerintahan Kaisar Friedrich Si Janggut Merah, sehingga negara ini mulai dikenal dengan nama Kekaisaran Suci, nama yang mencerminkan hasrat Friedrich untuk menguasai Italia dan lembaga kepausan. Nama "Kekaisaran Romawi Suci" dapat dipastikan sudah dipakai sejak tahun 1254.
Sebelum dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, negara ini dikenal dengan beragam sebutan, antara lain universum regnum (kerajaan sejagat, kebalikan dari kerajaan kedaerahan), imperium christianum (kekaisaran Kristen), dan Romanum imperium (kekaisaran Romawi), tetapi keabsahan kaisar selamanya ditumpukan pada konsep translatio imperii,[g] yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.
Di dalam lembaran maklumat yang terbit menyusul sidang Permusyawaratan Negara di Koln pada tahun 1512, nama negara ini berubah menjadi "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" (bahasa Jerman: Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation, bahasa Latin: Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae), yakni nama yang pertama kali dipakai pada tahun 1474 di dalam sebuah dokumen. Nama baru ini diadopsi bertepatan dengan hilangnya kedaulatan atas Italia dan Burgundia, tetapi juga dimaksudkan untuk menonjolkan peran penting dalam penyelenggaraan negara yang baru diberikan kepada praja-praja negara di Jerman selepas Pembaharuan Negara. Istilah "Kekaisaran Romawi Jerman" (bahasa Hungaria: Német-római Birodalom) yang lazim digunakan di Hungaria adalah bentuk ringkas dari nama baru tersebut.[43]
Pada akhir abad ke-18, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak lagi dipakai secara resmi. Bertolak belakang dengan pandangan-pandangan tradisional terkait nama tersebut, Hermann Weisert memaparkan di dalam sebuah hasil penelitian khazanah titulatur kekaisaran bahwa, meskipun digembar-gemborkan sebagai nama resmi negara di dalam banyak buku pelajaran, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak pernah diberi status resmi. Ia bahkan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang memuat nama "Kekaisaran Romawi Suci" tanpa menyertakan embel-embel "Bangsa Jerman" berjumlah tiga puluh kali lipat lebih banyak daripada dokumen-dokumen yang menyertakannya.
Di dalam sebuah pembahasan terkenal mengenai nama negara ini, filsuf politis Voltaire berseloroh bahwa "negara yang dulu disebut dan masih saja menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci itu sama sekali tidak ada suci-sucinya, tidak ada romawi-romawinya, malah bukan sebuah kekaisaran."
Pada zaman modern, negara ini secara tidak resmi kerap disebut Kekaisaran Jerman (bahasa Jerman: Deutsches Reich) atau Kekaisaran Jerman-Romawi (bahasa Jerman: Römisch-Deutsches Reich). Sejak dibubarkan sampai dengan tamatnya riwayat Kekaisaran Jerman, negara ini kerap disebut "kekaisaran lawas" (bahasa Jerman: das alte Reich). Mulai dari tahun 1923, kaum nasionalis Jerman awal abad ke-20 dan propaganda partai Nazi menyebut Kekaisaran Romawi Suci sebagai sebagai Reich "Pertama" (Erstes Reich, Reich berarti kekaisaran), disejajarkan dengan Kekaisaran Jerman sebagai Reich "Kedua", dan negara Jerman di bawah pemerintahan partai Nazi sebagai Reich "Ketiga".
David S. Bachrach berpendapat bahwa raja-raja kulawangsa Otto sesungguhnya membangun kemaharajaan mereka lewat pemanfaatan perangkat militer dan birokrasi maupun kekayaan budaya yang mereka warisi dari kulawangsa Karling, yang juga diwarisi kulawangsa Karling dari Kekaisaran Romawi menjelang keruntuhannya. Menurut David S. Bachrach, kemaharajaan kulawangsa Otto bukanlah suatu kerajaan purba binaan bangsa Jerman primitif, yang semata-mata dilanggengkan oleh ikatan-ikatan hubungan pribadi dan dijalankan oleh nafsu serakah orang-orang besar untuk menjarah lalu membagi-bagi hasil jarahan di antara mereka sendiri, melainkan sebuah negara yang tampil mengemuka berkat kemampuannya untuk menimbun sumber-sumber daya ekonomi, administratif, dan kebudayaan yang maju, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin perangnya yang sangat besar.[48][49]
Sampai dengan akhir abad ke-15, negara ini pada teorinya terdiri atas tiga kubu utama, yaitu Italia, Jerman, dan Burgundia. Kemudian hari yang tersisa hanyalah praja-praja Kerajaan Jerman dan Bohemia, karena praja-praja di Burgundia sudah jatuh ke tangan Prancis. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, Italia diabaikan dalam ikhtiar Pembaharuan Negara dan terpecah-belah menjadi banyak praja kedaerahan yang secara de facto merdeka.[51] Status Italia pada khususnya berubah-ubah dalam rentang waktu abad ke-16 sampai abad ke-18. Beberapa praja semisal Piemonte-Savoye kian lama kian merdeka, sementara praja-praja lain kian lama kian pudar kemerdekaannya akibat kepunahan garis keturunan pangeran prajanya, sehingga sering kali bertuan kepada kulawangsa Habsburg dan cabang-cabangnya. Selain lepasnya praja Franche-Comté pada tahun 1678, batas-batas wilayah Kekaisaran Romawi Suci tidak banyak berubah sejak Perjanjian Damai Westfalen ditandatangani (mengakui lepasnya Swiss dan Belanda Utara, serta perlindungan Prancis atas Elzas) sampai negara ini dibubarkan. Sesudah perang-perang Napoleon berakhir pada tahun 1815, hampir semua praja Kekaisaran Romawi Suci menjadi anggota Konfederasi Jerman, kecuali praja-praja di Italia.
Surutnya kekuasaan Romawi di Galia pada abad ke-5 dimanfaatkan oleh suku-suku Jermani setempat untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6, kulawangsa Merowing di bawah pimpinan Klovis I dan para penggantinya, mempersatukan suku-suku Franka dan menundukkan suku-suku lain demi menguasai kawasan utara Galia dan kawasan tengah daerah lembah sungai Rhein. Meskipun demikian, pada pertengahan abad ke-8, raja-raja Merowing hanya memerintah sebagai raja-raja boneka, karena kendali pemerintahan sesungguhnya berada dalam cengkeraman kulawangsa Karling di bawah pimpinan Karel Martel. Pada tahun 751, anak Karel Martel yang bernama Pipin naik takhta menjadi Raja orang Franka, bahkan kemudian hari berhasil mendapatkan restu Sri Paus.[57] Sejak saat itu kulawangsa Karling menjalin persekutuan yang erat dengan lembaga kepausan.
Pada tahun 768, anak Pipin yang bernama Karel Agung naik takhta menjadi Raja orang Franka. Ia memprakarsai usaha perluasan wilayah, dan pada akhirnya berhasil mendaulat wilayah luas yang dewasa ini menjadi wilayah negara Prancis, wilayah negara Jerman, kawasan utara wilayah Italia, wilayah Negeri-Negeri Tanah Rendah, malah lebih luas lagi, sampai wilayah kedaulatan orang Franka berdempet dengan wilayah kedaulatan Sri Paus.
Meskipun masyarakat Italia sudah lama mendongkol lantaran merasa kurang sejahtera hidup di bawah kekuasaan Romawi Timur, gejolak politik baru timbul pada tahun 726, dipicu oleh kebijakan ikonoklasme Kaisar Leo orang Isauria, yang dipandang Paus Gregorius II sebagai penyimpangan akidah termutakhir dari rentetan penyimpangan akidah yang dilakukan oleh kepala negara Kekaisaran Romawi. Pada tahun 797, Ibu Suri Irene memakzulkan Kaisar Konstantinus VI, kemudian menyatakan diri sebagai penguasa tunggal. Lantaran hanya kepala negara berjenis kelamin laki-laki yang diakui Gereja Latin sebagai pemimpin Dunia Kristen, Paus Leo III pun berikhtiar mencari orang lain yang layak menyandang kehormatan itu tanpa bertukar pikiran lebih dulu dengan Batrik Konstantinopel.[62]
Jasa Karel Agung bagi Gereja, karena membela kedaulatan Sri Paus dari rongrongan orang Lombardi, menjadikannya calon yang ideal. Pada hari Natal tahun 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Dunia Barat sesudah lebih dari tiga abad lamanya menghilang.[62] Langkah Sri Paus ini dapat dianggap sebagai perpalingan simbolis lembaga kepausan dari Kekaisaran Romawi Timur yang sedang terpuruk kepada kekuatan baru, yakni kerajaan bangsa Franka di bawah pemerintahan kulawangsa Karling. Karel Agung mengadopsi semboyan Renovatio imperii Romanorum (pembaharuan Kekaisaran Romawi). Pada tahun 802, Irene digulingkan dan diasingkan oleh Kaisar Nikeforos I. Sejak saat itulah ada dua kepala negara yang sama-sama bergelar Kaisar Bangsa Romawi.
Sesudah Karel Agung mangkat pada tahun 814, mahkota kekaisaran turun kepada anaknya, Ludwig Warak. Sesudah Ludwig Warak mangkat pada tahun 840, mahkota kerajaan turun kepada anaknya, Lothar. Pada waktu itulah seantero wilayah yang pernah dikuasai mendiang Karel Agung dibagi-bagi menjadi beberapa wilayah kedaulatan (bdk. Perjanjian Verdun, Perjanjian Prüm, Perjanjian Meerssen, dan Perjanjian Ribemont), dan sepanjang sisa abad ke-9 gelar kaisar diperebutkan oleh para kepala negara Kerajaan Franka Barat (Francia Barat) dan Kerajaan Franka Timur (Francia Timur) yang sama-sama berasal dari kulawangsa Karling. Mula-mula gelar itu jatuh ke pundak Raja Franka Barat (Karel Gundul), tetapi kemudian beralih ke pundak Raja Franka Timur (Karel Gemuk), tokoh yang berhasil mempersatukan kembali kemaharajaan bangsa Franka, kendati tidak bertahan lama. Pada abad ke-9, Karel Agung dan para penggantinya berikhtiar memajukan taraf pendidikan dan kebudayaan di negaranya, ikhtiar yang dikenal dengan sebutan Renainsans Karling. Beberapa sarjana, misalnya Mortimer Chambers,[65] berpandangan bahwa Renaisans Karling dapat terwujud berkat adanya renaisans-renainsans susulan (kendati pada awal abad ke-10, tidak ada lagi ikhtiar semacam itu).[66]
Sesudah Karel Gemuk mangkat pada tahun 888, kemaharajaan wangsa Karling terpecah-belah dan tidak kunjung dapat dipersatukan kembali. Petawarikh Regino dari Prüm meriwayatkan bahwa bagian-bagian dari kemaharajaan itu "memuntahkan empat orang raja kecil", dan masing-masing bagian memilih seorang raja kecil "dari isi perutnya sendiri". Salah seorang kaisar semacam itu adalah Berengarius, Kaisar di Italia, yang mangkat pada tahun 924.
Sekitar tahun 900, praja-praja kadipaten kesukuan swatantra di Kerajaan Franka Timur (Franken, Bayern, Swaben, Saksen, dan Lotharingen) kembali berani unjuk gigi. Sesudah Raja Ludwig Bocah dari kulawangsa Karling mangkat tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 911, Kerajaan Franka Timur tidak diam saja menunggu negaranya didaulat Raja Franka Barat yang juga berasal dari kulawangsa Karling, tetapi memilih salah seorang pangeran praja Franka Timur, yakni Adipati Konrad, pangeran praja Franken, menjadi Rex Francorum Orientalium. Menjelang tutup usia, Konrad merelakan mahkota kerajaan diambil alih saingan utamanya, Adipati Heinrich Penjerat Burung, pangeran praja Saksen yang terpilih menjadi raja dalam sidang Permusyarawatan Negara di Fritzlar pada tahun 919. Heinrich berhasil menyepakati gencatan senjata dengan bangsa Magyar yang merongrong wilayah Franka Timur, dan untuk pertama kalinya berhasil mengalahkan mereka pada tahun 933 dalam Pertempuran Riade.
Heinrich mangkat pada tahun 936, tetapi anak cucunya, yakni kulawangsa Liudolfing atau kulawangsa Otto, terus memerintah Kerajaan Franka Timur atau Kerajaan Jerman selama kurang lebih satu abad. Sepeninggal Heinrich Penjerat Burung, Otto, anak yang ia tetapkan menjadi penggantinya, terpilih menjadi raja di Aachen pada tahun 936. Otto harus berjuang menghadapi serangkaian pemberontakan yang dikobarkan adiknya sendiri dan beberapa orang adipati. Sesudah berhasil memadamkan pemberontakan, Otto mampu mengendalikan pengangkatan adipati dan kerap mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan pemerintahan. Ia mengganti hampir semua pangeran praja terkemuka di Franka Timur dengan sanak saudaranya, tetapi juga menutup peluang bagi sanak saudara untuk merongrong kedaulatannya.[73][74]
Pada tahun 951, Otto maju berperang membela Tuan Putri Adelheid di Italia, mengalahkan musuh-musuhnya, kemudian menikahinya, dan mengambil alih kekuasaan atas Italia. Pada tahun 955, Otto dengan telak mengalahkan bangsa Magyar dalam Pertempuran Lechfeld. Pada tahun 962, Otto dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII, sehingga urusan-urusan pemerintahan Kerajaan Jerman pun tersangkutpautkan dengan urusan-urusan pemerintahan Italia dan lembaga kepausan. Penobatan Otto menjadi kaisar membuat raja-raja Jerman tercitrakan sebagai ahli-ahli waris kemaharajaan Karel Agung, dan karena keabsahan kaisar ditumpukan pada konsep translatio imperii, raja-jara Jerman pun memandang diri mereka sebagai para penerus kepemimpinan negara Roma Kuno. Perkembangan seni budaya yang bermula pada masa pemerintahan Otto dikenal dengan sebutan Renaisans Otto. Perkembangan ini berpusat di Jerman, tetapi juga melanda Italia Utara dan Prancis.[77][78]
Otto menciptakan sistem jemaat kekaisaran, yang kerap disebut "sistem Reich jemaat Otto". Sistem ini mengikat jemaat-jemaat Gereja yang besar berikut wakil-wakilnya kepada tugas-tugas kenegaraan, sehingga terwujudlah "suatu pranata yang kukuh dan langgeng bagi negeri Jerman".[79][80] Pada zaman kulawangsa Otto, kaum wanita memainkan peran penting di bidang politik dan keagamaan, seringkali dengan memadukan peran mereka selaku tokoh agama dengan peran selaku penasihat raja, wali raja, atau kepala pemerintahan bersama raja. Tokoh-tokoh perempuan yang terkemuka adalah Permaisuri Mathilde, Permaisuri Edgitha, Permaisuri Adelheid, Permaisuri Teofanu, dan Putri Pemangku Mathilde.[81][82][83][84]
Pada tahun 963, Otto memakzulkan Paus Yohanes XII dan menetapkan Leo VIII sebagai paus yang baru (kendati Paus Yohanes XII dan Paus Leo VIII sama-sama mendaku sebagai paus yang sah sampai Paus Yohanes XII wafat pada tahun 964). Tindakan tersebut membuka kembali sengketa lama dengan Kaisar Romawi Timur, lebih-lebih sesudah anak Otto, yakni Kaisar Otto II (memerintah tahun 967-983), memakai gelar imperator Romanorum (kaisar bangsa Romawi). Meskipun demikian, Otto II menjalin hubungan kekerabatan dengan kaum ningrat Romawi Timur dengan memperistri Putri Teofanu. Anak mereka, yakni Kaisar Otto III, naik takhta ketika baru berumur tiga tahun, sehingga tidak berdaya mengatasi persaingan kaum ningrat yang haus kekuasaan, dan harus pasrah diwakili oleh para pemangku yang silih berganti menjalankan pemerintahan sampai dia cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 994. Sampai dengan saat itu, Otto III hanya bermastautin di Jerman, sementara Kresensius II, seorang pecatan adipati, bersimaharajalela memerintah Roma dan sebagian wilayah Italia, mungkin dengan mencatut namanya.
Pada tahun 996, Otto III menetapkan saudara sepupunya menjadi paus pertama yang berkebangsaan Jerman, yakni Paus Gregorius V. Paus dari bangsa asing dan para petinggi kepausan dari bangsa asing dilirik dengan penuh kecurigaan oleh kaum ningrat Roma, yang akhirnya memberontak di bawah pimpinan Kresensius II. Mantan guru pembimbing Otto III, Antipaus Yohanes XVI, sempat menguasai Roma sampai kota itu direbut Kaisar Romawi Suci.
Otto III mangkat dalam usia yang masih terbilang muda pada tahun 1002. Ia digantikan oleh saudara sepupunya, Kaisar Heinrich II, yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada negeri Jerman. Usaha-usaha diplomatik Otto III (dan guru pembimbingnya, Paus Silvester) dilancarkan bertepatan dengan, dan mempermulus jalan bagi, usaha kristenisasi dan penyebarluasan budaya Latin di berbagai pelosok Eropa.[89][90] Otto III dan Paus Silvester berhasil menggiring masuk serumpun bangsa baru (bangsa Slav) ke dalam lingkup pranata Eropa, dan menjadikan Kekaisaran Romawi Suci, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana, sebagai "ketua himpunan kekeluargaan bangsa-bangsa menyerupai Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat pada paus dan kaisar di Roma". Langkah ini terbukti merupakan capaian yang berumur panjang.[91][92][93][94] Kemangkatan Otto III saat masih muda membuat masa pemerintahannya menjadi "kisah tentang sekian banyak daya berkarya yang tidak sempat mewujud nyata".[95][96]
Heinrich II mangkat pada tahun 1024, dan digantikan oleh Konrad II, penguasa pertama dari kulawangsa Sali. Konrad II terpilih menjadi raja sesudah melewati perdebatan para adipati dan kaum ningrat. Kalangan adipati dan kaum ningrat inilah yang kemudian hari menjadi majelis pangeran-pemilih.
Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menjadi sebuah negara besar yang terdiri atas empat kerajaan, yaitu:
Raja-raja acap kali mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan kenegaraan, dan kerap menentukan orang-orang yang akan diangkat menjadi petinggi Gereja. Selepas pembaharuan Kluni, campur tangan raja dalam urusan pengangkatan petinggi Gereja dinilai tidak patut oleh lembaga kepausan. Paus Gregorius VII yang berwawasan pembaharuan bertekad untuk melawan amalan-amalan semacam itu, sehingga menimbulkan sengketa investitur dengan Raja Heinrich IV (memerintah tahun 1056-1106, dinobatkan menjadi kaisar tahun 1084).
Heinrich IV menjegal langkah Sri Paus, dan membujuk para uskup untuk mengekskomunikasi Sri Paus, yang suka ia sebut dengan nama lahirnya saja, yaitu Hildebrand, alih-alih dengan nama kepausannya, Gregorius. Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich, menafikan keabsahan jabatannya, dan membatalkan semua sumpah prasetia yang diikrarkan orang kepadanya.[23] Ketika sadar sudah kehilangan hampir semua dukungan politik, Heinrich pun merendahkan dirinya dengan menanggung malu berjalan kaki ke Kanosa pada tahun 1077, dan berhasil meluluhkan hati Sri Paus untuk mencabut hukuman ekskomunikasi yang ditimpakan kepada dirinya. Sementara itu, para pangeran praja di Jeman sudah memilih Adipati Rudolf, pangeran praja Swaben, menjadi raja menggantikan Heinrich.
Heinrich berhasil mengalahkan Rudolf, tetapi sebagai konsekuensinya harus menghadapi lebih banyak lagi pemberontakan, hukuman ekskomunikasi yang sekali lagi ditimpakan kepada dirinya, bahkan harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya sendiri. Sesudah Heinrich mangkat, anaknya, Heinrich V, berhasil mencapai kata mufakat dengan Sri Paus dan para uskup yang dituangkan ke dalam Konkordat Worms tahun 1122. Kuasa politik Kekaisaran Romawi Suci dapat dipertahankan, tetapi sengketa investitur telah menyingkap batas-batas kedaulatan raja, teristimewa dalam kaitannya dengan Gereja, dan telah melucuti status keramat yang sebelumnya melekat pada diri raja. Sri Paus dan para pangeran praja Jerman pun tampil mengemuka sebagai pemain-pemain utama di gelanggang politik Kekaisaran Romawi Suci.
Sebagai akibat dari Ostsiedlung, daerah-daerah jarang penduduk di Eropa Tengah (daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk, dewasa ini termasuk wilayah negara Polandia dan Ceko) dimasuki pendatang penutur bahasa Jerman dalam jumlah yang cukup signifikan. Daerah Silesia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sebagai akibat dari usaha para adipati kulawangsa Piast untuk berswatantra, lepas dari campur tangan pemerintah Kerajaan Polandia.[102] Sejak abad ke-12, praja kadipaten Pomerania bernaung di bawah nama besar Kekaisaran Romawi Suci, dan aksi penaklukan yang dilancarkan Tarekat Kesatria Teuton mengubah daerah itu menjadi praja penutur bahasa Jerman.
Kemangkatan Heinrich V pada tahun 1125 mengakhiri zaman kulawangsa Sali, karena para pangeran praja tidak lagi memilih kepala negara dari kaum keluarga Heinrich, tetapi memilih Lothar III, Adipati Saksen pemilik kekuatan tempur yang lumayan besar tetapi sudah lanjut usia. Sepeninggal Lothar III pada tahun 1137, para pangeran praja sekali lagi berusaha mengimbangi kekuasaan kepala negara, sehingga alih-alih memilih ahli waris kesayangan Lothar, yaitu menantunya, Heinrich Jumawa dari keluarga ningrat Welf, mereka memilih Konrad III dari keluarga ningrat Hohenstaufen yang masih terhitung cucu Kaisar Heinrich IV dan kemenakan Kaisar Heinrich V. Keputusan ini menimbulkan sengketa satu abad di antara dua keluarga ningrat itu. Konrad mengusir keluarga Welf dari tanah-tanah pusaka mereka, tetapi sesudah ia mangkat pada tahun 1152, kemenakannya, Friedrich Si Janggut Merah, naik takhta menggantikannya dan berdamai dengan keluarga Welf dengan mengangkat Heinrich Si Singa, yang masih terhitung saudara sepupunya, menjadi pangeran praja atas tanah-tanah pusaka peninggalan keluarga Welf, meskipun tidak lagi seluas dulu.
Para penguasa dari kulawangsa Hohenstaufen kian lama kian sering menganugerahkan tanah perdikan kepada para ministerialis, yakni para mantan hamba sahaya, yang diharapkan Friedrich dapat menjadi orang-orang yang lebih dapat diandalkan daripada para adipati. Golongan yang mula-mula diberdayakan untuk berperang inilah yang merupakan cikal-bakal dari kaum kesatria negara, salah satu basis kekuatan Kekaisaran Romawi Suci. Langkah konstitusional penting berikutnya adalah penciptaan mekanisme perdamaian baru di Roncaglia bagi seantero Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Landfrieden, yang pertama kali dipermaklumkan oleh Kaisar Heinrich IV di Mainz pada tahun 1103.
Landfrieden merupakan ikhtiar untuk menghapus perseteruan pribadi di antara para adipati maupun pihak-pihak lain, dan untuk mengikat segenap kawula kaisar kepada suatu sistem yurisdiksi hukum dan kejaksaan agung bagi penegakan hukum pidana, salah satu pendahulu dari konsep modern "kedaulatan hukum". Konsep baru lain yang muncul pada masa itu adalah pendirian kota-kota baru secara sistematis oleh kaisar maupun oleh adipati-adipati setempat. Selain untuk menanggulangi masalah ledakan populasi, pendirian kota-kota baru juga memusatkan kekuatan ekonomi di lokasi-lokasi yang strategis. Sebelumnya, kota-kota hanya wujud dalam bentuk kota-kota tua peninggalan bangsa Romawi atau kota-kota keuskupan yang lebih tua lagi. Kota-kota yang didirikan pada abad ke-12 antara lain adalah kota Freiburg, yang mungkin sekali menjadi percontohan bagi banyak kota baru berikutnya, dan kota München.
Friedrich Si Janggut Merah dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1155. Ia menitikberakan sifat "keromawian" negaranya, dengan maksud antara lain untuk dijadikan pembenaran bagi kemandirian kedaulatan kaisar dari Sri Paus yang ketika itu sudah sangat berkuasa. Sidang negara yang digelar di padang Roncaglia pada tahun 1158 menyerukan penegakan kembali hak-hak kaisar dengan merujuk kepada Corpus Iuris Civilis peninggalan Kaisar Yustinianus I. Hak-hak kaisar sudah diwacanakan sebagai tanda kebesaran raja saat terjadinya sengketa investitur, tetapi baru diperinci satu demi satu untuk pertama kalinya di Roncaglia. Daftar lengkapnya mencakup hak atas jalan-jalan raya umum, hak mengutip cukai, hak mencetak uang, hak mengutip denda, dan hak menaikturunkan pejabat negara. Dengan jelas diungkapkan bahwa hak-hak itu berakar pada peraturan perundang-undangan Romawi. Langkah tersebut merupakan tindakan konstitusional yang berdampak panjang.
Friedrich lebih banyak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pemerintahan di Italia, tempat ia bersengketa dengan kota-kota Italia Utara yang berwawasan merdeka, khususnya praja kadipaten Milan. Ia juga membuat gusar lembaga kepausan dengan mendukung paus tandingan, yang dipilih oleh sekelompok kecil kardinal, melawan Paus Aleksander III (menjabat tahun 1159–1181). Friedrich bahkan mendukung suksesi paus-paus tandingan sebelum akhirnya berdamai dengan Paus Aleksander pada tahun 1177. Di negeri Jerman, Friedrich berulang kali membela Adipati Heinrich Si Singa dari berbagai kecaman yang dilontarkan para pangeran praja maupun pemerintah kota praja (terutama dalam kasus kota München dan kota Lübeck) yang menjadi saingannya. Heinrich sebaliknya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan-kebijakan Friedrich, malah menolak mengirim bala bantuan di saat-saat Friedrich sedang kewalahan berperang di Italia. Sepulangnya ke Jerman, Friedrich yang sudah kepalang sakit hati pun menggelar sidang untuk mengadili Heinrich Si Singa. Sang adipati akhirnya diharamkan menunjukkan batang hidungnya di muka umum, dan seluruh tanah miliknya disita negara. Pada tahun 1190, Friedrich ikut maju ke palagan Perang Salib ke-3, dan mangkat di Kerajaan Kilikia bangsa Armenia.
Pada zaman kulawangsa Hohenstaufen, para pangeran praja Jerman memprakarsai usaha pembukaan permukiman-permukiman baru dengan jalan damai ke sebelah timur wilayah Jerman, yakni di daerah-daerah tak berpenghuni atau yang hanya dihuni segelintir masyarakat Slav Barat. Kaum tani, pedagang, dan pengrajin penutur bahasa Jerman, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Yahudi, berpindah dari kawasan barat Kekaisaran Romawi Suci ke daerah-daerah tersebut. Jermanisasi berangsur atas daerah-daerah itu merupakan suatu fenomena rumit yang tidak boleh ditafsirkan dengan menggunakan sudut pandang nasionalisme abad ke-19 yang cenderung menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Pembukaan permukiman-permukiman baru ke arah timur ini memperlebar mandala pengaruh Kekaisaran Romawi Suci sampai ke Pomerania dan Silesia, demikian pula ikatan perkawinan yang dijalin para penguasa setempat, yang rata-rata berkebangsaan Slav, dengan pasangan-pasangan mereka yang berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1226, Adipati Konrad, pangeran praja Masovia, mengundang Tarekat Kesatria Teuton ke Prusia untuk mengkristenkan penduduk daerah itu. Praja Tarekat Teuton (bahasa Jerman: Deutschordensstaat), yang kemudian hari berubah menjadi praja Kadipaten Prusia, tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci.
Pada masa pemerintahan anak sekaligus pengganti Friedrich Si Janggut Merah, yakni Kaisar Heinrich VI, kulawangsa Hohenstaufen mencapai puncak kegemilangannya, dengan masuknya Kerajaan Sisilia ke dalam daftar tanah pusaka kulawangsa itu melalui perkawinan Heinrich VI dengan Konstanze, Ratu Sisilia. Bohemia dan Polandia menjadi negara-negara pengabdi Kekaisaran Romawi Suci, bahkan Siprus dan Armenia Kecil turut mengaturkan sembah bakti ke hadapan kaisar. Khalifah berkebangsaan Maroko yang berkuasa di Jazirah Iberia ketika itu pun tidak berdaya membantah kewenangan Heinrich untuk menuntut pembayaran upeti dari Tunis dan Tripolitania, malah mempersembahkan upeti kepadanya. Lantaran takut melihat besarnya kekuasaan Heinrich, pemimpin terkuat di Eropa sejak kemangkatan Karel Agung, raja-raja lain di Eropa pun sepakat menjalin persekutuan. Heinrich membuyarkan upaya mereka dengan cara mengirimkan surat ancaman kepada Raja Inggris, Richard Si Hati Singa. Kaisar Romawi Timur khawatir negaranya akan menjadi bulan-bulanan dalam Perang Salib yang sedang direncanakan Heinrich, sehingga mulai menjalankan pemungutan alamanikon (pajak Jerman) sebagai langkah penanggulangan bahaya invasi. Heinrich juga berencana mengubah bentuk pemerintahan Kekaisaran Romawi Suci dari monarki elektif menjadi monarki turun-temurun, tetapi ditentang keras oleh Sri Paus dan beberapa pangeran praja. Kemangkatan Heinrich yang tidak disangka-sangka pada tahun 1197 mengguncang keutuhan Kekaisaran Romawi Suci.[108][109][110] Sekalipun sudah terpilih menjadi raja, Friederich II, anak Heinrich, masih kanak-kanak dan bermastautin di Sisilia, sehingga para pangeran praja Jerman memutuskan untuk memilih seorang raja yang sudah dewasa. Sidang majelis pangeran-pemilih terbelah, sebagian memilih Filips, putra bungsu Friedrich Si Janggut Merah, dan sebagian lagi memilih Otto, putra ketiga Adipati Heinrich Si Singa. Sesudah Filips mangkat terbunuh dalam suatu pertengkaran terkait urusan pribadi pada tahun 1208, Otto pun tampil sebagai pemimpin yang disegani, sampai ia mulai berusaha mendaulat Sisilia.[butuh klarifikasi]
Lantaran khawatir terhadap ancaman bahaya yang mungkin timbul akibat bersatunya Kekaisaran Romawi Suci dengan Kerajaan Sisilia, Paus Inosensius III berbalik memihak Friedrich II. Friedrich bersama angkatan perangnya berkirab ke Jerman dan mengalahkan Otto. Sesudah berhasil mengalahkan Otto, Friedrich malah mengkhianati janjinya untuk melanggengkan keterpisahan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci. Meskipun sudah mengangkat anaknya, Heinrich, menjadi Raja Sisilia sebelum berkirab ke Jerman, kendali pemerintahan Sisilia sesungguhnya masih berada di dalam genggamannya. Situasi ini berlanjut sesudah Friedrich dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1220. Lantaran khawatir melihat pemusatan kekuasaan pada diri Friedrich, Sri Paus mengekskomunikasinya. Perkara lain yang juga menggusarkan hati Sri Paus adalah sikap Friedrich yang berulang kali menangguhkan janjinya untuk melancarkan Perang Salib. Friedrich akhirnya melancarkan Perang Salib ke-6 pada tahun 1228, sekalipun sudah telanjur diekskomunikasi. Perang Salib ke-6 bermuara pada perundingan-perundingan, dan berhasil menegakkan kembali kedaulatan Kerajaan Yerusalem, meskipun tidak bertahan lama.
Di luar dari sepak terjangnya selaku kaisar, masa pemerintahan Friedrich II merupakan titik balik menuju ambruknya tatanan pemerintahan terpusat di Kekaisaran Romawi Suci. Lantaran sibuk membentuk pemerintahan yang lebih terpusat di Sisilia, Friedrich jarang sekali melawat ke Jerman, dan menganugerahkan hak-hak istimewa yang terlampau besar kepada para pangeran praja maupun petinggi Gereja di Jerman. Di dalam piagam Confoederatio cum principibus ecclesiasticis tahun 1220, Friederich merelakan sejumlah tanda kebesaran raja demi kepentingan para uskup, antara lain hak mengutip cukai, hak mencetak uang, dan hak mendirikan benteng. Piagam Statutum in favorem principum tahun 1232 menganugerahkan pula hak-hak tersebut kepada para pangeran praja. Meskipun sebelumnya banyak dari hak-hak istimewa itu sudah pernah dianugerahkan kepada pangeran praja tertentu, piagam tersebut menganugerahkannya kepada semua pangeran praja, sekali untuk selamanya, demi memampukan mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban wilayah di sebelah utara pegunungan Alpen selagi Friedrich berkutat dengan kesibukannya di Italia. Piagam tahun 1232 itu merupakan dokumen pertama yang menyifatkan para adipati di negeri Jerman dengan sebutan domini terræ (tuan tanah), yaitu pemilik dari tanah pusaka mereka masing-masing. Pemakaian sebutan domini terræ juga menunjukkan adanya perubahan besar di bidang peristilahan.
Kerajaan Bohemia adalah negara kedaerahan yang cukup disegani pada Abad Pertengahan. Pada tahun 1212, Raja Ottokar I (menyandang gelar "raja" mulai tahun 1198) berhasil mendapatkan Bula Kencana Sisilia (semacam surat keputusan resmi) dari Kaisar Friedrich II, yang mengesahkan hak Ottokar dan keturunannya untuk menyandang gelar "raja", sekaligus meningkatkan status praja Bohemia dari kadipaten menjadi kerajaan. Kewajiban-kewajiban politik dan keuangan Bohemia terhadap Kekaisaran Romawi Suci sedikit demi sedikit dikurangi.[112] Kaisar Karel IV bahkan menjadikan kota Praha sebagai pusat pemerintahannya.
Sesudah Kaisar Friedrich II mangkat pada tahun 1250, wilayah Kerajaan Jerman pecah menjadi wilayah kekuasaan anaknya, Raja Konrad IV (mangkat tahun 1254), dan wilayah kekuasaan si raja tandingan, Willem, Adipati Holland (mangkat tahun 1256). Sepeninggal Konrad IV, negeri Jerman memasuki masa interregnum, karena tidak ada calon raja yang mampu mendapatkan persetujuan dari semua pihak. Lantaran tidak ada raja, para pangeran praja pun lebih banyak mencurahkan pikiran dan tenaga untuk memperkuat prajanya masing-masing, bahkan mampu tampil sebagai sosok-sosok pemimpin yang mandiri. Selepas tahun 1257, ada dua orang bangsawan yang digadang-gadangkan menjadi Raja Jerman, yakni Richard, bangsawan Cornwall yang didukung golongan Guelfi, dan Alfonso, Raja Kastila yang mendapatkan pengakuan dari golongan pendukung kulawangsa Hohenstaufen tetapi tidak pernah menjejakkan kakinya di bumi Jerman. Sesudah Richard mangkat pada tahun 1273, Rudolf, seorang bupati pendukung kulawangsa Hohenstaufen, terpilih menjadi raja. Rudolf adalah bangsawan pertama dari keluarga Habsburg yang bergelar raja, tetapi ia tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Sesudah Rudolf mangkat pada tahun 1291, Adolf dan Albert berturut-turut menduduki singgasana Kerajaan Jerman dengan gelar "Raja bangsa Romawi". Sama seperti Rudolf, Adolf dan Albert adalah raja-raja lemah yang tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar.
Begitu Albert mangkat terbunuh pada tahun 1308, Raja Prancis, Filips IV, mulai gencar menggalang dukungan bagi adiknya, Karel, Bupati Valois, supaya terpilih menjadi Raja Bangsa Romawi berikutnya. Raja Filips II menyangka akan didukung penuh oleh Paus Klemens V yang berkebangsaan Prancis (memindahkan markas kepausan ke Avignon pada tahun 1309), dan merasa berpeluang besar dapat memasukkan Kekaisaran Romawi Suci ke dalam cakupan mandala kekuasaan raja-raja Prancis. Tidak tanggung-tanggung ia hamburkan duit negaranya demi menyogok para pangeran-pemilih di Jerman. Sekalipun Bupati Valois didukung oleh Heinrich, Uskup Agung Koln yang pro-Prancis, banyak pihak enggan melihat Prancis berjaya melebarkan sayap kekuasaannya, lebih-lebih Paus Klemens V. Agaknya saingan utama Karel, Bupati Valois, adalah Rudolf II, Bupati Istana di Rhein.
Meskipun demikian, para pangeran-pemilih, yang sudah beberapa dasawarsa lamanya tidak memiliki seorang kaisar yang dipertuan, tidak menyukai Karel maupun Rudolf. Justru Heinrich, Bupati Luksemburg, dengan bantuan adiknya, Balduin, Uskup Agung Trier, yang dipilih menjadi kaisar oleh para pangeran praja (enam suara mendukung) di Frankfurt pada tanggal 27 November 1308. Meskipun bertuan kepada Raja Prancis, Heinrich tidak memiliki banyak ikatan kebangsaan dengan Prancis, sehingga menjadikannya calon yang tidak banyak ditentang. Ia dinobatkan menjadi raja di Aachen pada tanggal 6 Januari 1309, dan dinobatkan menjadi Kaisar Heinrich VII oleh Paus Klemens V di Roma pada tanggal 29 Juni 1312. Penobatannya menjadi Kaisar mengakhiri masa interregnum di Kekaisaran Romawi Suci.
Pada abad ke-13, perubahan struktural umum di bidang tata kelola tanah membuka jalan bagi peralihan kuasa politik ke kaum borjuis dengan mengorbankan feodalisme kaum ningrat, yang akhirnya menjadi ciri khas kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Kebangkitan kota-kota dan kemunculan golongan masyarakat baru, yaitu kalangan Bürger (orang kota), menggerus tatanan kemasyarakatan, tatanan hukum, maupun tatanan ekonomi ala feodalisme.
Kaum tani kian lama kian diwajibkan untuk menyetorkan upeti kepada tuan-tuan tanah mereka. Konsep "harta-milik" mulai menggeser bentuk-bentuk kewenangan hukum yang lebih kuno, kendati keduanya masih tetap berkaitan erat satu sama lain. Di wilayah-wilayah praja (bukan di tingkat negara), kewenangan kian lama kian memusat. Barang siapa memiliki tanah, dia jualah yang empunya kewenangan hukum, kewenangan yang menjadi sumber dari segala kewenangan lainnya. Meskipun demikian, kewenangan hukum pemilik tanah pada masa itu tidak mencakup kewenangan membuat undang-undang, yakni jenis kewenangan yang nyaris tidak dikenal sebelum abad ke-15. Praktik peradilan sangat bergantung kepada adat-istiadat atau aturan-aturan yang sudah teradat.
Pada kurun waktu inilah wilayah-wilayah praja mulai bertransformasi menjadi cikal-bakal negara-negara modern. Proses transformasi tersebut tidak berjalan serentak dan seragam di semua praja. Kemajuannya lebih terlihat di praja-praja yang wilayahnya nyaris identik dengan tanah-tanah pusaka suku-suku Jermani tempo dulu, misalnya praja Bayern, tetapi berjalan lebih lamban di praja-praja yang terlahir dari pelaksanaan hak-hak istimewa kaisar.
Pada abad ke-12, Liga Hansa mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antarserikat usaha kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan Laut Baltik, Laut Utara, dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangeran prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali kota-kota merdeka milik negara). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.[h]
Kesulitan-kesulitan dalam memilih raja pada akhirnya mendorong dibentuknya suatu dewan tetap pangeran-pemilih (Kurfürsten). Keanggotaan maupun tata acara persidangannya ditetapkan di dalam Bula Kencana tahun 1356 yang dikeluarkan oleh Kaisar Karel IV (memerintah tahun 1355–1378, menjadi Raja Bangsa Romawi sejak tahun 1346) dan berlaku sampai tahun 1806. Perkembangan ini mungkin sekali merupakan tanda yang paling nyata dari munculnya dualitas kaisar dan negara (Kaiser und Reich), karena kaisar tidak lagi dianggap identik dengan negara. Bula Kencana tahun 1356 juga menetapkan tata cara pemilihan Kaisar Romawi Suci. Kaisar tidak lagi terpilih karena memenangkan suara mayoritas, tetapi terpilih karena mendapatkan persetujuan dari ketujuh-tujuh pangeran-pemilih. Gelar pangeran-pemilih pun menjadi gelar turun-temurun, bahkan pangeran-pemilih dianugerahi hak untuk mencetak uang dan menjalankan kewenangan hukum. Putra-putra mereka dianjurkan untuk belajar menguasai bahasa-bahasa negara, yaitu bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[i] Kebijakan Kaisar Karel IV ini menjadi pokok perdebatan. Di satu pihak kebijakan ini membantu memulihkan kedamaian di seantero wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang terus-menerus dilanda perang saudara sejak berakhirnya zaman kulawangsa Hohenstaufen, tetapi di lain pihak kebijakan ini "tidak pelak lagi menghantam kewenangan pemerintah pusat".[116] Menurut Thomas Brady Jr., Kaisar Karel IV sesungguhnya berniat mengakhiri pertentangan dalam pemilihan raja (jika dilihat dari sudut pandang kulawangsa Luksemburg, mereka turut diuntungkan karena Raja Bohemia mendapatkan kedudukan yang mulia dan bersifat tetap selaku salah seorang pangeran-pemilih).[118] Pada waktu yang sama, Kaisar Karel IV membangun Bohemia sebagai tanah pusaka utama kulawangsa Luksemburg di dalam wilayah Kekaisaran Romawi Suci dan sebagai basis kekuatan kulawangsa Luksemburg. Di Bohemia, masa pemerintahannya kerap diagung-agungkan sebagai zaman kegemilangan Bohemia. Meskipun demikian, menurut Thomas Brady Jr., di balik segala kegemerlapan itu, muncul satu permasalahan, yaitu pemerintah telah menyingkap ketidakberdayaannya dalam membendung arus pendatang Jerman ke Bohemia, yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan aniaya. Proyek negara yang diprakarsai kulawangsa Luksemburg mangkrak pada masa pemerintahan anak Karel, Wenzel (memerintah sebagai Raja Bohemia dari tahun 1378 sampai 1419, memerintah sebagai Raja Bangsa Romawi dari tahun 1376 sampai 1400), yang juga menghadapi penentangan dari 150 keluarga ningrat setempat.
Kian susutnya kewenangan kaisar juga terungkap dari cara raja-raja pasca-Hohenstaufen mempertahankan kekuasaan mereka. Pada masa-masa sebelumnya, Kekuatan tempur (maupun kekuatan dana) Kekaisaran Romawi Suci sangat bergantung kepada tata kelola bumi narawita kaisar yang disebut Reichsgut, yakni tanah-tanah yang akan selalu menjadi milik siapa saja yang terpilih menduduki singgasana Raja Jerman, dan mencakup banyak kota milik negara. Selepas abad ke-13, hak milik atas Reichsgut semakin tidak ada artinya, kendati masih tersisa satu dua bidang tanah Reichsgut ketika Kekaisaran Romawi Suci dibubarkan pada tahun 1806. Kian hari kian banyak Reichsgut yang digadaikan kepada adipati-adipati setempat, kadang-kadang demi mengisi pundi-pundi negara, tetapi lebih sering sebagai ganjaran darmabakti atau sebagai upaya mencucuk hidung adipati-adipati tersebut. Mengelola Reichsgut secara langsung tidak lagi sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan raja maupun para adipati.
Raja-raja Jerman mulai dari Raja Rudolf I kian lama kian bergantung kepada tanah pusaka wangsanya masing-masing demi menopang kekuasaan mereka. Tidak seperti tanah-tanah Reichsgut yang kebanyakan terserak di berbagai pelosok negeri dan sukar untuk dikelola dengan baik, tanah-tanah pusaka wangsa relatif menyatu sehingga lebih mudah dikelola. Pada tahun 1282, Raja Rudolf I meminjamkan daerah Austria dan Stiria kepada putra-putranya sendiri. Pada tahun 1312, Heinrich VII, putra keluarga ningrat Luksemburg, dinobatkan sebagai Kaisar Romawi Suci yang pertama semenjak mangkatnya Kaisar Friedrich II. Semua Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci sesudah dirinya bergantung kepada tanah-tanah pusaka wangsanya (Hausmacht) masing-masing, misalnya Kaisar Ludwig IV dari keluarga ningrat Wittelsbach (menjadi raja tahun 1314, menjabat sebagai kaisar tahun 1328–1347) yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bayern, dan Kaisar Karel IV dari keluarga ningrat Lukesemburg, cucu Kaisar Heinrich VII, yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bohemia. Dengan demikian, demi kepentingan pribadinya, raja perlu memperkuat praja-praja, karena raja jualah yang akan memetik manfaatnya, mengingat di antara praja-praja tersebut terdapat pula praja-praja milik pusaka keluarganya sendiri.
Pada permulaan abad ke-15, "undang-undang dasar" Kekaisaran Romawi Suci belum terbentuk dengan sempurna. Kerap timbul perseteruan antarpangeran praja. Kaum "kesatria garong" (Raubritter) merajalela di mana-mana.
Pada waktu yang sama, Gereja Katolik sedang berkutat dengan masalahnya sendiri, yang juga berdampak terhadap kehidupan bernegara. Konflik di antara orang-orang yang sama-sama mendaku sebagai paus yang sah (satu orang paus yang "sah" dan dua orang paus tandingan) baru tuntas sesudah Konsili Konstanz terselenggara (tahun 1414–1418). Selepas tahun 1419, lembaga kepausan lebih banyak mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk memberantas kaum Husite. Cita-cita luhur yang mengemuka pada Abad Pertengahan untuk mempersatukan seluruh Dunia Kristen menjadi satu negara saja, yang dituntun Gereja dan dipimpin Kekaisaran Romawi Suci, mulai kehilangan gaungnya.
Semua perubahan tersebut memuculkan banyak perbincangan pada abad ke-15 mengenai Kekaisaran Romawi Suci itu sendiri. Aturan-aturan dari masa lampau tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman, dan Landfrieden warisan masa lampau dirasa sangat perlu ditegakkan kembali.
Cita-cita pembaharuan negara dan Gereja yang berjalan serentak di tingkat negara terlahir dari gagasan Kaisar Sigismund (memerintah tahun 1433–1437, menjadi Raja Bangsa Romawi dari tahun 1411). Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kaisar Sigismund "memiliki kewaskitaan dan keluhuran budi yang tidak kunjung dijumpai di dalam diri seorang kepala negara monarki Jerman sejak abad ketiga belas". Meskipun demikian, tantangan dari luar, kekeliruan-kekeliruan yang dilakukannya sendiri, dan punahnya garis keturunan laki-laki kulawangsa Luksemburg, membuat cita-cita itu tidak kunjung tercapai.
Pada tahun 1452, Friedrich III menjadi penguasa pertama dari kulawangsa Habsburg yang dinobatkan menjadi Kaisar Romawi Suci.[123] Ia sangat berhati-hati dalam menyikapi gerakan pembaharuan di Kekaisaran Romawi Suci. Hampir sepanjang masa pemerintahannya, ia menganggap pembaharuan sebagai ancaman terhadap hak-hak prerogatifnya selaku kaisar. Ia mengindari konfrontasi-konfrontasi langsung, yang bisa saja berujung nista jika para pangeran praja tidak mau menurut.[124] Selepas tahun 1440, pembaharuan Kekaisaran Romawi Suci dan Gereja diusung dan dipimpin oleh tokoh-tokoh di tingkat lokal dan regional, teristimewa para pangeran praja.[125] Meskipun demikian, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, ada lebih banyak tekanan dari tingkat yang lebih tinggi untuk mengambil tindakan. Berthold von Henneberg, Uskup Agung Mainz, atas nama para pangeran praja yang menghendaki pembaharuan (ingin memperbaharui Kekaisaran Romawi Suci tanpa menguatkan kewenangan kaisar), mendesak kaisar untuk melakukan pembaharuan dengan memanfaatkan keinginan Friedrich III untuk melapangkan jalan bagi anaknya, Maximilian, supaya terpilih menjadi kaisar sesudah ia mangkat. Oleh karena itu, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, Kaisar Friedrich III memprakarsai ikhtiar perdana pembaharuan negara, yang kemudian hari meluas pada masa pemerintahan Maximilian. Kaisar Maximilian sendiri bersikap terbuka terhadap pembaharuan, meskipun pada hakikatnya ia juga ingin melanggengkan dan memperbesar hak-hak prerogatif kaisar. Sesudah Friedrich meninggalkan kesibukan penyelenggaraan negara dan beristirahat di Linz pada tahun 1488, sebagai suatu langkah kompromi, Maximilian bertindak sebagai perantara yang menghubungkan para pangeran praja dengan ayahandanya. Sesudah menjadi penguasa tunggal sepeninggal ayahandanya, Maximilian meneruskan kebijakan perantara ini, dengan menempatkan dirinya selaku wasit yang tidak berpihak di tengah berbagai pilihan yang diusulkan para pangeran praja.
Langkah-langkah besar Pembaharuan Negara ditetapkan di dalam sidang Permusyawaratan Negara di Worms pada tahun 1495. Di dalam sidang tersebut, diperkenalkan sebuah lembaga baru, yaitu Reichskammergericht (Mahkamah Negara), yang diharapkan menjadi lembaga yang tidak banyak bergantung kepada kaisar. Ditetapkan pula suatu pajak baru, khusus untuk mendanai lembaga tersebut, yakni Gemeine Pfennig, kendati baru dikutip pada masa pemerintahan Kaisar Karel V dan Kaisar Ferdinand I, itu pun tidak dipungut sepenuhnya.[127][128][129]
Dengan maksud untuk menciptakan sebuah lembaga tandingan bagi Reichskammergericht, pada tahun 1497, Kaisar Maximilian membentuk Reichshofrat (Majelis Istana Negara) yang berkedudukan di kota Wina. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Kaisar Maximilian, Reichshofrat tidak populer. Dalam jangka panjang, Reichskammergericht maupun Reichshofrat sama-sama berfungsi, bahkan kadang-kadang saling tumpang tindih.
Pada tahun 1500, Kaisar Maximilian menyetujui pembentukan lembaga yang dinamakan Reichsregiment (Pemerintah Negara), beranggotakan dua puluh orang petinggi negara termasuk para pangeran-pemilih, diketuai oleh kaisar atau pejabat yang mewakilinya. Reichsregiment pertama kali dibentuk pada tahun 1501 di Nürnberg. Meskipun demikian, Kaisar Maximilian tidak menyukai keberadaannya, dan praja-praja pun gagal mendukung kiprahnya. Lembaga baru ini terbukti tidak mampu berbuat banyak di gelanggang politik, sehingga kewenangannya dikembalikan kepada Kaisar Maximilian pada tahun 1502.
Perubahan terpenting di bidang pemerintahan menyasar jantung rezim ini, yaitu lembaga ketatausahaan. Pada permulaan masa pemerintahan Maximilian, Tata Usaha Istana di Innsbruck bersaing dengan Tata Usaha Negara yang diketuai Uskup Agung pangeran Praja Mainz, penata usaha kawakan Kekaisaran Romawi Suci. Dengan melimpahkan urusan-urusan politik di Tyrol, Austria maupun masalah-masalah negara kepada Tata Usaha Istana, Maximilian sedikit demi sedikit memusatkan kewenangan ketatausahaan pada lembaga tersebut. Tata Usaha Istana dan Tata Usaha Negara akhirnya disatukan pada tahun 1502. Pada tahun 1496, Kaisar Maximilian membentuk suatu lembaga perbendaharaan umum (Hofkammer) di Innsbruck, yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan terkait semua tanah pusaka turun-temurun. Badan pemeriksa keuangan (Raitkammer) di Wina ditempatkan di bawah naungan lembaga ini. Di bawah pimpinan Paul von Liechtenstein [de], Hofkammer tidak saja dipercaya untuk menangani urusan-urusan tanah pusaka turun-temurun, tetapi juga menangani urusan-urusan Maximilian selaku Raja Jerman.[135]
Pada sidang Permusyawaratan Negara tahun 1495 di Worms, pemberlakuan hukum Romawi dipercepat dan diundangkan. Hukum Romawi dijadikan ketentuan yang bersifat mengikat di pengadilan-pengadilan Jerman, kecuali jika bertentangan dengan anggaran dasar praja.[137] Pada praktiknya, hukum Romawi menjadi hukum asasi di seluruh negeri Jerman, menggeser banyak sekali hukum asli Jermani, meskipun hukum Jermani masih dipakai di pengadilan-pengadilan tingkat bawah.[138][139][140][141] Selain demi mewujudkan niat untuk mencapai kesatuan hukum dan berbagai faktor lain, pemberlakuan hukum Romawi juga dilakukan demi menonjolkan kesinambungan Kekaisaran Romawi Suci dengan kemaharajaan bangsa Romawi tempo dulu.[142] Guna mewujudnyatakan keputusannya untuk merombak dan menyatukan tatanan hukum, Kaisar Maximilian kerap langsung turun tangan menuntaskan perkara-perkara hukum di tingkat praja, dengan melangkahi piagam-piagam maupun adat-istiadat praja. Sikap semacam itu tidak jarang menuai sindiran maupun kecaman dari dewan-dewan pemerintahan praja yang hendak menjaga kelanggengan undang-undang asli praja.
Perombakan tatanan hukum benar-benar melemahkan mahkamah Feme warisan masa lampau (Vehmgericht, atau Mahkamah Rahasia Westfalen, yang turun-temurun diyakini sebagai lembaga bentukan Karel Agung, meskipun sudah diragukan kebenarannya dewasa ini[144][145]), meskipun mahkamah ini baru benar-benar bubar pada tahun 1811 (dihapuskan atas perintah Jérôme Bonaparte).[146][147]
Maximilian maupun Karel V (meskipun pada hakikatnya kedua kaisar ini berjiwa internasionalis[151][152]) adalah tokoh-tokoh yang pertama kali mengangkat wacana bangsa, yang disamakan dengan Reich oleh kaum humanis pada masa itu. Dengan dorongan dari Maximilian dan para humanisnya, sosok-sosok nirjasad terkenal kembali diketengahkan atau kembali memasyarakat. Para humanis menemukan kembali risalah Jermania karya pujangga Tacitus. Menurut Peter H. Wilson, sosok perempuan yang dinamakan Jermania adalah sosok yang direka ulang Kaisar Maximilian menjadi Bunda Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman yang berbudi luhur lagi cinta damai. Whaley menduga bahwa, meskipun kemudian hari timbul perpecahan akibat perbedaan agama, "motif-motif kecintaan kepada tanah air ditumbuhsuburkan pada masa pemerintahan Maximilian, baik oleh Maximilian sendiri maupun oleh para sastrawan humanis yang tanggap terhadap kebijakannya tersebut, melahirkan inti sari sebuah budaya politik kebangsaan."[154]
Pada masa pemerintahan Maximilian pula ragam umum bahasa Jerman berangsur-angsur tampil menonjol, terutama berkat jasa jawatan tata usaha negara dan jawatan tata usaha praja Kadipaten Saksen, daerah kekuasaan Friedrich Bijaksana, pangeran-pemilih dari wangsa Wettin.[155][156] Perkembangan industri percetakan beserta kemunculan sistem pos (sistem pos modern pertama di dunia[157]), yang diprakarsai sendiri oleh Maximilian dengan sokongan dari Adipati Friedrich Bijaksana dan Adipati Karel Nekat, menuntun kepada revolusi di bidang komunikasi dan membuka jalan bagi penyebarluasan gagasan-gagasan. Berbeda dari situasi di negara-negara yang lebih tersentralisasi pemerintahannya, sifat keterdesentralisasian Kekaisaran Romawi Suci membuat membuat penyensoran menjadi perkara yang sukar dilaksanakan.[158][159][160]
Terence McIntosh berpendapat bahwa kebijakan agresif ekspansionis yang dijalankan Kaisar Maximilian I dan Kaisar Karel V pada masa-masa pembentukan negara Jerman modern perdana (kendati tidak memajukan sasaran-sasarannya menjadi spesifik bagi bangsa Jerman per se), yang mengandalkan sumber daya manusia Jerman maupun pemanfaatan tenaga Landsknechte dan tentara upahan yang terkenal garang, berdampak kepada cara negara-negara tetangga memandang politas Jerman tersebut, kendati Jerman dalam jangka panjang cenderung aman sentosa.[162]
Maximilian adalah "Kaisar Romawi Suci yang pertama dalam 250 tahun yang memimpin sekaligus meraja". Pada permulaan dasawarsa 1500-an, ia adalah majikan sejati Kekaisaran Romawi Suci, meskipun kekuasaanya melemah pada dasawarsa terakhir menjelang kemangkatannya.[164] Whaley mencermati bahwa, meskipun penuh dengan pergumulan, yang muncul pada akhir masa pemerintahan Maximilian adalah monarki yang sudah kukuh, dan bukan oligarki pangeran-pangeran praja. Benjamin Curtis berpendapat bahwa sekalipun tidak mampu sepenuhnya menciptakan suatu pemerintahan umum yang menaungi seluruh praja (meskipun tata usaha negara dan sidang majelis istana mampu menangani berbagai urusan di seluruh wilayah kedaulatan negara), Maximilian memperkuat fungsi-fungsi administratif penting di Austria dan membentuk jawatan-jawatan pusat untuk menangani urusan-urusan keuangan, politik, dan peradilan – jawatan-jawatan ini menggantikan sistem feodal dan merepresentasikan suatu sistem yang lebih modern yang dikelola oleh pejabat-pejabat yang diprofesionalkan. Sesudah dua dasawarsa mereformasi negara, kaisar mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh yang dituakan di antara rekan-rekan yang sederajat, sementara negara mendapatkan lembaga-lembaga umum yang menjadi sarana kaisar untuk berbagi kekuasaan dengan berbagai golongan warga negara.
Pada awal abad ke-16, para penguasa Habsburg menjadi kepala-kepala negara terkuat di Eropa, tetapi kekuatan mereka bertumpu pada keseluruhan percabangan monarki yang mereka bentuk, bukan hanya pada Kekaisaran Romawi Suci (baca juga Masa pemerintahan Kaisar Karel V).[167][168] Maximilian sempat serius mempertimbangkan untuk menyatukan tanah-tanah lungguh Burgundia (warisan istinya, Maria dari Burgundia) dengan tanah-tanah lungguh Austria miliknya untuk membentuk suatu wilayah inti yang kukuh (sembari meluaskan wilayah ke timur). Sesudah masuknya Spanyol ke dalam lingkup kemaharajaan wangsa Habsburg yang terjadi tanpa disangka-sangka, ia pernah berniat meninggalkan Austria (ditingkatkan statusnya menjadi kerajaan) kepada cucunya yang lebih muda, Ferdinand.[170] Cucunya yang lebih tua, Karel V, kelak menyerahkan Spanyol dan hampir semua tanah lungguh Burgundia kepada purtanya, Felipe, pendiri wangsa Habsburg cabang Spanyol, dan menyerahkan tanah-tanah pusaka Habsburg kepada adiknya, Ferdinand, pendiri wangsa Habsburg cabang Austria.
Di Prancis dan Inggris, mulai dari abad ke-13, kediaman tetap raja mulai berkembang menjadi ibu kota yang tumbuh pesat dan diperlengkapi dengan prasarana-prasarana yang dibutuhkannya. Palais de la Cité di Prancis dan Istana Westminster di Inggris menjadi kediaman utama raja. Perkembangan seperti ini mustahil terjadi di Kekaisaran Romawi Suci lantaran tidak adanya pemerintahan monarki yang sungguh-sungguh herediter.
Meskipun menghambat sentralisasi kekuasaan di Kekaisaran Romawi Suci, partikularisme melahirkan perkembangan-perkembangan awal kapitalisme. Di kota-kota Italia seperti Genova dan Pisa maupun kota-kota Liga Hansa seperti Hamburg dan Lübeck, muncul kaum saudagar-petarung yang merintis kemaharajaan-kemaharajaan kelautan rompak-dan-dagang. Praktik-praktik semacam ini meredup sebelum tahun 1500, tetapi telanjur menyebar sampai ke persekitaran maritim di Portugal, Spanyol, Belanda, serta Inggris, dan "menumbuhkan semangat bersaing dalam skala yang lebih besar, yang bertaraf samudra" di negara-negara itu.[172] William Thompson sependapat dengan M.N.Pearson bahwa fenomena yang khas Eropa ini terjadi lantaran di kota-kota Italia dan kota-kota Liga Hansa yang tidak memiliki sumber daya dan "kecil ukuran maupun populasinya" para penguasa (yang status sosialnya tidak jauh lebih tinggi daripada status sosial para saudagar) harus mencurahkan perhatiannya pada perdagangan. Dengan demikian para saudagar-pejuang mendapatkan kuasa negara untuk memaksa, yang mustahil mereka dapatkan di negeri Mughal maupun negeri-negeri lain di Asia, tempat kepala negara tidak begitu berkepentingan untuk membantu golongan saudagar, lantaran menguasai sumber-sumber daya yang lumayan besar dan berpenghasilan yang erat terkait dengan tanah.[173]
Pada dasawarsa 1450-an, perkembangan ekonomi di kawasan selatan Jerman menumbuhkan kemaharajaan-kemaharajaan perbankan, kartel-kartel, dan monopoli-monopoli di kota-kota seperti Ulm, Regensburg, dan Augsburg. Pada khususnya Augsburg, kota yang dikait-kaitkan dengan reputasi keluarga Fugger, keluarga Welser, dan keluarga Baumgartner ini dianggap sebagai ibu kota kapitalisme perdana.[174][175] Augsburg sangat diuntungkan oleh pembentukan dan perluasan Kaiserliche Reichspost pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.[158][157] Bahkan ketika kemaharajaan wangsa Habsburg mulai melebarkan sayapnya ke negeri-negeri lain di Eropa, kesetiaan Maximilian kepada Augsburg, tempat pelaksanaan sebagian besar kebijakannya, membuat kota kekaisaran itu menjadi "pusat utama kapitalisme perdana" pada abad abad ke-16, dan "lokasi kantor pos yang paling penting di wilayah Kekaisaran Romawi Suci". Dari zaman Maximilian, manakala "titik-titik perhentian akhir jalur-jalur pos lintas benua yang pertama" mulai bergeser dari Innsbruck ke Venesia dan dari Brussels ke Antwerpen, sistem komunikasi dan pasaran warta berita di kota-kota tersebut mulai mapan. Karena perusahaan keluarga Fuggers maupun perusahaan-perusahaan dagang lainnya menempatkan cabang-cabang utamanya di kota-kota itu, mereka juga mendapatkan akses ke sistem-sistem tersebut.[176] Bagaimanapun juga, kebangkrutan wangsa Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1557, 1575, dan 1607 sangat merugikan perusahaan keluarga Fugger. Selain itu, "penemuan jalur laut menuju India dan Dunia Baru menggeser fokus perkembangan ekonomi Eropa dari Laut Tengah ke Samudra Atlantik – kota-kota yang diutamakan bukan lagi Venesia dan Genova, melainkan Lisboa dan Antwerpen. Pada akhirnya perkembangan usaha tambang mineral Amerika membuat kekayaan mineral Hongaria dan Tirol menjadi tidak begitu penting lagi. Jaringan benua Eropa terus terkurung daratan sampai tiba masa pengupayaan angkutan barang lewat darat terutama dalam bentuk sistem rel dan sistem terusan, yang terbatas potensi pertumbuhannya; di lain pihak, di benua baru, ada banyak sekali pelabuhan untuk menggelontorkan limpahan barang yang diperoleh dari negeri-negeri baru itu." Puncak kejayaan ekonomi yang dicapai di Jerman pada kurun waktu antara tahun 1450 sampai 1550 tidak pernah terlihat lagi sampai akhir abad ke-19.
Di praja-praja Kekaisaran Romawi Suci yang terletak di Negeri Tanah Rendah, pusat-pusat finansial tumbuh bersama pasar-pasar komoditas. Perkembangan topografis pada abad ke-15 mengubah Antwerpen menjadi sebuah kota pelabuhan. Bermodalkan hak-hak istimewa yang diterimanya selaku kota yang setia kepada kaisar seusai pemberontakan orang Flandria melawan Maximilian, Antwerpen menjadi kota pelabuhan laut utama di Eropa Utara dan tampil sebagai "penyalur 40% perdagangan dunia".[179][180][181] Meskipun demikian, konflik dengan pemerintah Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1576 dan 1585 membuat para sardaugar berpindah ke Amsterdam, yang akhirnya menggantikan Antwerpen sebagai kota pelabuhan utama.[182]
Kesalahan pengutipan: Tag dengan nama "prince" yang didefinisikan di
Kesalahan pengutipan: Tag dengan nama "isites" yang didefinisikan di
Pranala ke artikel terkait
Penghormatan terhadap hewan yang dianggap suci atau sebagai perwujudan dewa dikenal dengan Zoolatry. Foto/holisticvetcare
- Penghormatan terhadap
atau sebagai perwujudan dewa dikenal dengan Zoolatry. Budaya atau ritual ini dapat ditemui di sejumlah negara dan kebudayaan bangsa zaman dahulu.
Penghormatan pemujaan hewan suci, dapat dikaitkan dengan hubungan dengan dewa tertentu yang diwakili. Berikut 5 hewan yang dianggap suci dari berbagai kepercayaan dan ritual dirangkum dari laman holisticvetcare dan iloveveterinary, Selasa (3/1/2022)
Menurut cerita rakyat Korea, harimau agung dianggap sebagai penjaga Barat dan juga merupakan roh ilahi. Mereka adalah simbol kekuatan dan keberanian dan diyakini menangkal kejahatan dan membawa keberuntungan.
Di seluruh India selatan, gajah agung disembah di kuil. Bahkan dalam mitologi Hindu memiliki dewa yang disebut Ganesha atau Dewa Gajah.
Festival Hindu Ganesh Chaturthi dirayakan dengan semua lonceng dan peluit, terutama di Maharashtra di India. Dalam budaya ini, gajah mewakili karakteristik yang mengagumkan seperti kebijaksanaan dan keberanian.
Kucing peliharaan adalah salah satu hewan paling suci di Mesir. Orang-orang Mesir kuno memuja kucing untuk mengendalikan ular dan hama sehingga menjadikan kucing simbol ketenangan dan keanggunan.
Orang Mesir kuno percaya kucing adalah hewan mistis, dengan kemampuan membawa keberuntungan bagi orang yang memeliharanya. Untuk memuliakan hewan peliharaan berharga ini, keluarga kaya menghiasi kucing dengan perhiasan dan memberi makanan layaknya bangsawan.
Beberapa suku asli Amerika dan masyarakat kuno di sekitar Alaska percaya beruang simbol keberuntungan. Mereka memandang beruang itu memiliki kekuatan supernatural yang memungkinkannya hibernasi selama musim dingin.
Dalam cerita rakyat Skandinavia, beruang adalah reinkarnasi dewa agung Odin, penguasa Asgard. Dalam Mitologi Nordik, Odin adalah pemimpin para Dewa.
Orang Yunani kuno percaya ikan mas membawa keberuntungan, karena dianggap dapat meningkatkan hubungan dan pernikahan. Di Mesir kuno, mereka percaya ikan mas membawa keberuntungan bagi seluruh keluarga.
Ikan juga simbol keberuntungan bagi masyarakat Tiongkok. Faktanya, menyajikan ikan saat makan malam Tahun Baru sudah menjadi tradisi. Kata ikan, “Yu”, terdengar seperti kata “keinginan” atau “kelimpahan” dalam bahasa Kanton dan Mandarin.
Mengapa Kitab Suci Katolik Mempunyai Jumlah Kitab Lebih Banyak daripada Kitab Suci Protestan?
Oleh Romo Richard Lonsdale
Kitab Suci Katolik terdiri dari 72 kitab (45 kitab PL + 27 kitab PB), sementara kebanyakan Kitab Suci Protestan hanya terdiri dari 66 kitab. Kitab yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik semuanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Selain itu terdapat juga beberapa ayat dalam kitab-kitab tertentu yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik. Mengapa terjadi perbedaan demikian? Jawabannya amat rumit, tetapi secara sederhana dapat dijelaskan seperti berikut ini.
Orang-orang Yahudi menulis Perjanjian Lama, tetapi mereka tidak secara "resmi" menuliskan daftar atau kanon dari kitab-kitab tersebut sampai akhir abad kedua. Sekelompok orang Yahudi khawatir kalau-kalau pada akhirnya tulisan-tulisan Kristen juga akan dimasukkan orang ke dalam kanon mereka. Untuk mencegah hal tersebut, setelah melalui debat yang panjang, mereka memutuskan untuk mencantumkan hanya kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani saja yang termasuk dalam kanon mereka. Dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kitab-kitab Kristen yang semuanya ditulis dalam bahasa Yunani. Namun demikian, ada pula beberapa bagian dari kitab Perjanjian Lama yang hanya tersedia salinannya dalam bahasa Yunani, sedangkan kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Ibrani telah hilang. Dengan demikian kitab-kitab tersebut, yang dulunya juga mereka terima, ikut dikeluarkan dari kanon Yahudi.
Gereja Katolik tidak mengikuti keputusan mereka. Terutama karena beberapa kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani mendukung doktrin (doktrin = ajaran) Katolik, misalnya tentang Roh Kudus. Gereja Katolik tidak membuat daftar atau kanon resmi sampai beberapa abad kemudian. Sejak awal mula Gereja Katolik menerima semua kitab yang sekarang ada dalam Kitab Suci kita.
Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja Protestan disebut Protokanonika (protokanonika: kanon yang pertama). Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui oleh Gereja Katolik tetapi tidak diakui oleh Gereja Protestan di tempatkan di bagian antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bagian ini oleh Gereja Katolik disebut Deuterokanonika (deuterokanonika: kanon yang kedua), sedang oleh Gereja Protestan disebut Apokrip (apokrip : buku-buku keagamaan yang baik untuk dibaca tetapi tidak diilhami Roh Kudus).
Hingga kini Gereja Katolik terus mempertahankan serta menghormati kitab-kitab seperti yang telah diterima oleh Gereja Kristen Purba. Jika Kitab Suci yang mereka wariskan itu baik bagi mereka, tentu baik pula bagi kita. Coba bacalah kisah menarik tentang Tobit, dan coba baca juga nasehat-nasehat berharga dalam Kitab Kebijaksanaan di Kitab Suci Katolik-mu.
sumber: Romo Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
tambahan: Romo Dr. H. Pidyarto O.Carm; Mempertanggungjawabkan Iman Katolik buku kesatu
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale.
“Kekaisaran Romawi Suci bukan kekaisaran, tidak suci dan juga tidak Romawi,” tulis Voltaire, dan pemahaman ini masih menguasai pemikiran umum, sehingga Kekaisaran Romawi Suci dianggap sebagai lelucon buruk, sebuah sandiwara akan kehebatan Roma. Namun apakah Voltaire benar? Di sini kita akan melihat arti di baliknya, dan mungkin membenarkannya namanya.
Konsep Dua Pedang dari SachsenspiegelEike von Repgow (CC BY-NC-SA)
Konsep Dua Pedang dari Sachsenspiegel
Eike von Repgow (CC BY-NC-SA)
Zaman kulawangsa Hohenstaufen
Kemangkatan Heinrich V pada tahun 1125 mengakhiri zaman kulawangsa Sali, karena para pangeran praja tidak lagi memilih kepala negara dari kaum keluarga Heinrich, tetapi memilih Lothar III, Adipati Saksen pemilik kekuatan tempur yang lumayan besar tetapi sudah lanjut usia. Sepeninggal Lothar III pada tahun 1137, para pangeran praja sekali lagi berusaha mengimbangi kekuasaan kepala negara, sehingga alih-alih memilih ahli waris kesayangan Lothar, yaitu menantunya, Heinrich Jumawa dari keluarga ningrat Welf, mereka memilih Konrad III dari keluarga ningrat Hohenstaufen yang masih terhitung cucu Kaisar Heinrich IV dan kemenakan Kaisar Heinrich V. Keputusan ini menimbulkan sengketa satu abad di antara dua keluarga ningrat itu. Konrad mengusir keluarga Welf dari tanah-tanah pusaka mereka, tetapi sesudah ia mangkat pada tahun 1152, kemenakannya, Friedrich Si Janggut Merah, naik takhta menggantikannya dan berdamai dengan keluarga Welf dengan mengangkat Heinrich Si Singa, yang masih terhitung saudara sepupunya, menjadi pangeran praja atas tanah-tanah pusaka peninggalan keluarga Welf, meskipun tidak lagi seluas dulu.
Para penguasa dari kulawangsa Hohenstaufen kian lama kian sering menganugerahkan tanah perdikan kepada para ministerialis, yakni para mantan hamba sahaya, yang diharapkan Friedrich dapat menjadi orang-orang yang lebih dapat diandalkan daripada para adipati. Golongan yang mula-mula diberdayakan untuk berperang inilah yang merupakan cikal-bakal dari kaum kesatria negara, salah satu basis kekuatan Kekaisaran Romawi Suci. Langkah konstitusional penting berikutnya adalah penciptaan mekanisme perdamaian baru di Roncaglia bagi seantero Kekaisaran Romawi Suci, yaitu Landfrieden, yang pertama kali dipermaklumkan oleh Kaisar Heinrich IV di Mainz pada tahun 1103.
Landfrieden merupakan ikhtiar untuk menghapus perseteruan pribadi di antara para adipati maupun pihak-pihak lain, dan untuk mengikat segenap kawula kaisar kepada suatu sistem yurisdiksi hukum dan kejaksaan agung bagi penegakan hukum pidana, salah satu pendahulu dari konsep modern "kedaulatan hukum". Konsep baru lain yang muncul pada masa itu adalah pendirian kota-kota baru secara sistematis oleh kaisar maupun oleh adipati-adipati setempat. Selain untuk menanggulangi masalah ledakan populasi, pendirian kota-kota baru juga memusatkan kekuatan ekonomi di lokasi-lokasi yang strategis. Sebelumnya, kota-kota hanya wujud dalam bentuk kota-kota tua peninggalan bangsa Romawi atau kota-kota keuskupan yang lebih tua lagi. Kota-kota yang didirikan pada abad ke-12 antara lain adalah kota Freiburg, yang mungkin sekali menjadi percontohan bagi banyak kota baru berikutnya, dan kota München.
Friedrich Si Janggut Merah dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1155. Ia menitikberakan sifat "keromawian" negaranya, dengan maksud antara lain untuk dijadikan pembenaran bagi kemandirian kedaulatan kaisar dari Sri Paus yang ketika itu sudah sangat berkuasa. Sidang negara yang digelar di padang Roncaglia pada tahun 1158 menyerukan penegakan kembali hak-hak kaisar dengan merujuk kepada Corpus Iuris Civilis peninggalan Kaisar Yustinianus I. Hak-hak kaisar sudah diwacanakan sebagai tanda kebesaran raja saat terjadinya sengketa investitur, tetapi baru diperinci satu demi satu untuk pertama kalinya di Roncaglia. Daftar lengkapnya mencakup hak atas jalan-jalan raya umum, hak mengutip cukai, hak mencetak uang, hak mengutip denda, dan hak menaikturunkan pejabat negara. Dengan jelas diungkapkan bahwa hak-hak itu berakar pada peraturan perundang-undangan Romawi. Langkah tersebut merupakan tindakan konstitusional yang berdampak panjang.
Friedrich lebih banyak mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan pemerintahan di Italia, tempat ia bersengketa dengan kota-kota Italia Utara yang berwawasan merdeka, khususnya praja kadipaten Milan. Ia juga membuat gusar lembaga kepausan dengan mendukung paus tandingan, yang dipilih oleh sekelompok kecil kardinal, melawan Paus Aleksander III (menjabat tahun 1159–1181). Friedrich bahkan mendukung suksesi paus-paus tandingan sebelum akhirnya berdamai dengan Paus Aleksander pada tahun 1177. Di negeri Jerman, Friedrich berulang kali membela Adipati Heinrich Si Singa dari berbagai kecaman yang dilontarkan para pangeran praja maupun pemerintah kota praja (terutama dalam kasus kota München dan kota Lübeck) yang menjadi saingannya. Heinrich sebaliknya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan-kebijakan Friedrich, malah menolak mengirim bala bantuan di saat-saat Friedrich sedang kewalahan berperang di Italia. Sepulangnya ke Jerman, Friedrich yang sudah kepalang sakit hati pun menggelar sidang untuk mengadili Heinrich Si Singa. Sang adipati akhirnya diharamkan menunjukkan batang hidungnya di muka umum, dan seluruh tanah miliknya disita negara. Pada tahun 1190, Friedrich ikut maju ke palagan Perang Salib ke-3, dan mangkat di Kerajaan Kilikia bangsa Armenia.
Pada zaman kulawangsa Hohenstaufen, para pangeran praja Jerman memprakarsai usaha pembukaan permukiman-permukiman baru dengan jalan damai ke sebelah timur wilayah Jerman, yakni di daerah-daerah tak berpenghuni atau yang hanya dihuni segelintir masyarakat Slav Barat. Kaum tani, pedagang, dan pengrajin penutur bahasa Jerman, baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Yahudi, berpindah dari kawasan barat Kekaisaran Romawi Suci ke daerah-daerah tersebut. Jermanisasi berangsur atas daerah-daerah itu merupakan suatu fenomena rumit yang tidak boleh ditafsirkan dengan menggunakan sudut pandang nasionalisme abad ke-19 yang cenderung menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Pembukaan permukiman-permukiman baru ke arah timur ini memperlebar mandala pengaruh Kekaisaran Romawi Suci sampai ke Pomerania dan Silesia, demikian pula ikatan perkawinan yang dijalin para penguasa setempat, yang rata-rata berkebangsaan Slav, dengan pasangan-pasangan mereka yang berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1226, Adipati Konrad, pangeran praja Masovia, mengundang Tarekat Kesatria Teuton ke Prusia untuk mengkristenkan penduduk daerah itu. Praja Tarekat Teuton (bahasa Jerman: Deutschordensstaat), yang kemudian hari berubah menjadi praja Kadipaten Prusia, tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci.
Pada masa pemerintahan anak sekaligus pengganti Friedrich Si Janggut Merah, yakni Kaisar Heinrich VI, kulawangsa Hohenstaufen mencapai puncak kegemilangannya, dengan masuknya Kerajaan Sisilia ke dalam daftar tanah pusaka kulawangsa itu melalui perkawinan Heinrich VI dengan Konstanze, Ratu Sisilia. Bohemia dan Polandia menjadi negara-negara pengabdi Kekaisaran Romawi Suci, bahkan Siprus dan Armenia Kecil turut mengaturkan sembah bakti ke hadapan kaisar. Khalifah berkebangsaan Maroko yang berkuasa di Jazirah Iberia ketika itu pun tidak berdaya membantah kewenangan Heinrich untuk menuntut pembayaran upeti dari Tunis dan Tripolitania, malah mempersembahkan upeti kepadanya. Lantaran takut melihat besarnya kekuasaan Heinrich, pemimpin terkuat di Eropa sejak kemangkatan Karel Agung, raja-raja lain di Eropa pun sepakat menjalin persekutuan. Heinrich membuyarkan upaya mereka dengan cara mengirimkan surat ancaman kepada Raja Inggris, Richard Si Hati Singa. Kaisar Romawi Timur khawatir negaranya akan menjadi bulan-bulanan dalam Perang Salib yang sedang direncanakan Heinrich, sehingga mulai menjalankan pemungutan alamanikon (pajak Jerman) sebagai langkah penanggulangan bahaya invasi. Heinrich juga berencana mengubah bentuk pemerintahan Kekaisaran Romawi Suci dari monarki elektif menjadi monarki turun-temurun, tetapi ditentang keras oleh Sri Paus dan beberapa pangeran praja. Kemangkatan Heinrich yang tidak disangka-sangka pada tahun 1197 mengguncang keutuhan Kekaisaran Romawi Suci.[108][109][110] Sekalipun sudah terpilih menjadi raja, Friederich II, anak Heinrich, masih kanak-kanak dan bermastautin di Sisilia, sehingga para pangeran praja Jerman memutuskan untuk memilih seorang raja yang sudah dewasa. Sidang majelis pangeran-pemilih terbelah, sebagian memilih Filips, putra bungsu Friedrich Si Janggut Merah, dan sebagian lagi memilih Otto, putra ketiga Adipati Heinrich Si Singa. Sesudah Filips mangkat terbunuh dalam suatu pertengkaran terkait urusan pribadi pada tahun 1208, Otto pun tampil sebagai pemimpin yang disegani, sampai ia mulai berusaha mendaulat Sisilia.[butuh klarifikasi]
Lantaran khawatir terhadap ancaman bahaya yang mungkin timbul akibat bersatunya Kekaisaran Romawi Suci dengan Kerajaan Sisilia, Paus Inosensius III berbalik memihak Friedrich II. Friedrich bersama angkatan perangnya berkirab ke Jerman dan mengalahkan Otto. Sesudah berhasil mengalahkan Otto, Friedrich malah mengkhianati janjinya untuk melanggengkan keterpisahan Kerajaan Sisilia dari Kekaisaran Romawi Suci. Meskipun sudah mengangkat anaknya, Heinrich, menjadi Raja Sisilia sebelum berkirab ke Jerman, kendali pemerintahan Sisilia sesungguhnya masih berada di dalam genggamannya. Situasi ini berlanjut sesudah Friedrich dinobatkan menjadi kaisar pada tahun 1220. Lantaran khawatir melihat pemusatan kekuasaan pada diri Friedrich, Sri Paus mengekskomunikasinya. Perkara lain yang juga menggusarkan hati Sri Paus adalah sikap Friedrich yang berulang kali menangguhkan janjinya untuk melancarkan Perang Salib. Friedrich akhirnya melancarkan Perang Salib ke-6 pada tahun 1228, sekalipun sudah telanjur diekskomunikasi. Perang Salib ke-6 bermuara pada perundingan-perundingan, dan berhasil menegakkan kembali kedaulatan Kerajaan Yerusalem, meskipun tidak bertahan lama.
Di luar dari sepak terjangnya selaku kaisar, masa pemerintahan Friedrich II merupakan titik balik menuju ambruknya tatanan pemerintahan terpusat di Kekaisaran Romawi Suci. Lantaran sibuk membentuk pemerintahan yang lebih terpusat di Sisilia, Friedrich jarang sekali melawat ke Jerman, dan menganugerahkan hak-hak istimewa yang terlampau besar kepada para pangeran praja maupun petinggi Gereja di Jerman. Di dalam piagam Confoederatio cum principibus ecclesiasticis tahun 1220, Friederich merelakan sejumlah tanda kebesaran raja demi kepentingan para uskup, antara lain hak mengutip cukai, hak mencetak uang, dan hak mendirikan benteng. Piagam Statutum in favorem principum tahun 1232 menganugerahkan pula hak-hak tersebut kepada para pangeran praja. Meskipun sebelumnya banyak dari hak-hak istimewa itu sudah pernah dianugerahkan kepada pangeran praja tertentu, piagam tersebut menganugerahkannya kepada semua pangeran praja, sekali untuk selamanya, demi memampukan mereka untuk memelihara keamanan dan ketertiban wilayah di sebelah utara pegunungan Alpen selagi Friedrich berkutat dengan kesibukannya di Italia. Piagam tahun 1232 itu merupakan dokumen pertama yang menyifatkan para adipati di negeri Jerman dengan sebutan domini terræ (tuan tanah), yaitu pemilik dari tanah pusaka mereka masing-masing. Pemakaian sebutan domini terræ juga menunjukkan adanya perubahan besar di bidang peristilahan.
Kerajaan Bohemia adalah negara kedaerahan yang cukup disegani pada Abad Pertengahan. Pada tahun 1212, Raja Ottokar I (menyandang gelar "raja" mulai tahun 1198) berhasil mendapatkan Bula Kencana Sisilia (semacam surat keputusan resmi) dari Kaisar Friedrich II, yang mengesahkan hak Ottokar dan keturunannya untuk menyandang gelar "raja", sekaligus meningkatkan status praja Bohemia dari kadipaten menjadi kerajaan. Kewajiban-kewajiban politik dan keuangan Bohemia terhadap Kekaisaran Romawi Suci sedikit demi sedikit dikurangi.[112] Kaisar Karel IV bahkan menjadikan kota Praha sebagai pusat pemerintahannya.
Sesudah Kaisar Friedrich II mangkat pada tahun 1250, wilayah Kerajaan Jerman pecah menjadi wilayah kekuasaan anaknya, Raja Konrad IV (mangkat tahun 1254), dan wilayah kekuasaan si raja tandingan, Willem, Adipati Holland (mangkat tahun 1256). Sepeninggal Konrad IV, negeri Jerman memasuki masa interregnum, karena tidak ada calon raja yang mampu mendapatkan persetujuan dari semua pihak. Lantaran tidak ada raja, para pangeran praja pun lebih banyak mencurahkan pikiran dan tenaga untuk memperkuat prajanya masing-masing, bahkan mampu tampil sebagai sosok-sosok pemimpin yang mandiri. Selepas tahun 1257, ada dua orang bangsawan yang digadang-gadangkan menjadi Raja Jerman, yakni Richard, bangsawan Cornwall yang didukung golongan Guelfi, dan Alfonso, Raja Kastila yang mendapatkan pengakuan dari golongan pendukung kulawangsa Hohenstaufen tetapi tidak pernah menjejakkan kakinya di bumi Jerman. Sesudah Richard mangkat pada tahun 1273, Rudolf, seorang bupati pendukung kulawangsa Hohenstaufen, terpilih menjadi raja. Rudolf adalah bangsawan pertama dari keluarga Habsburg yang bergelar raja, tetapi ia tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar. Sesudah Rudolf mangkat pada tahun 1291, Adolf dan Albert berturut-turut menduduki singgasana Kerajaan Jerman dengan gelar "Raja bangsa Romawi". Sama seperti Rudolf, Adolf dan Albert adalah raja-raja lemah yang tidak pernah dinobatkan menjadi kaisar.
Begitu Albert mangkat terbunuh pada tahun 1308, Raja Prancis, Filips IV, mulai gencar menggalang dukungan bagi adiknya, Karel, Bupati Valois, supaya terpilih menjadi Raja Bangsa Romawi berikutnya. Raja Filips II menyangka akan didukung penuh oleh Paus Klemens V yang berkebangsaan Prancis (memindahkan markas kepausan ke Avignon pada tahun 1309), dan merasa berpeluang besar dapat memasukkan Kekaisaran Romawi Suci ke dalam cakupan mandala kekuasaan raja-raja Prancis. Tidak tanggung-tanggung ia hamburkan duit negaranya demi menyogok para pangeran-pemilih di Jerman. Sekalipun Bupati Valois didukung oleh Heinrich, Uskup Agung Koln yang pro-Prancis, banyak pihak enggan melihat Prancis berjaya melebarkan sayap kekuasaannya, lebih-lebih Paus Klemens V. Agaknya saingan utama Karel, Bupati Valois, adalah Rudolf II, Bupati Istana di Rhein.
Meskipun demikian, para pangeran-pemilih, yang sudah beberapa dasawarsa lamanya tidak memiliki seorang kaisar yang dipertuan, tidak menyukai Karel maupun Rudolf. Justru Heinrich, Bupati Luksemburg, dengan bantuan adiknya, Balduin, Uskup Agung Trier, yang dipilih menjadi kaisar oleh para pangeran praja (enam suara mendukung) di Frankfurt pada tanggal 27 November 1308. Meskipun bertuan kepada Raja Prancis, Heinrich tidak memiliki banyak ikatan kebangsaan dengan Prancis, sehingga menjadikannya calon yang tidak banyak ditentang. Ia dinobatkan menjadi raja di Aachen pada tanggal 6 Januari 1309, dan dinobatkan menjadi Kaisar Heinrich VII oleh Paus Klemens V di Roma pada tanggal 29 Juni 1312. Penobatannya menjadi Kaisar mengakhiri masa interregnum di Kekaisaran Romawi Suci.
Pada abad ke-13, perubahan struktural umum di bidang tata kelola tanah membuka jalan bagi peralihan kuasa politik ke kaum borjuis dengan mengorbankan feodalisme kaum ningrat, yang akhirnya menjadi ciri khas kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Kebangkitan kota-kota dan kemunculan golongan masyarakat baru, yaitu kalangan Bürger (orang kota), menggerus tatanan kemasyarakatan, tatanan hukum, maupun tatanan ekonomi ala feodalisme.
Kaum tani kian lama kian diwajibkan untuk menyetorkan upeti kepada tuan-tuan tanah mereka. Konsep "harta-milik" mulai menggeser bentuk-bentuk kewenangan hukum yang lebih kuno, kendati keduanya masih tetap berkaitan erat satu sama lain. Di wilayah-wilayah praja (bukan di tingkat negara), kewenangan kian lama kian memusat. Barang siapa memiliki tanah, dia jualah yang empunya kewenangan hukum, kewenangan yang menjadi sumber dari segala kewenangan lainnya. Meskipun demikian, kewenangan hukum pemilik tanah pada masa itu tidak mencakup kewenangan membuat undang-undang, yakni jenis kewenangan yang nyaris tidak dikenal sebelum abad ke-15. Praktik peradilan sangat bergantung kepada adat-istiadat atau aturan-aturan yang sudah teradat.
Pada kurun waktu inilah wilayah-wilayah praja mulai bertransformasi menjadi cikal-bakal negara-negara modern. Proses transformasi tersebut tidak berjalan serentak dan seragam di semua praja. Kemajuannya lebih terlihat di praja-praja yang wilayahnya nyaris identik dengan tanah-tanah pusaka suku-suku Jermani tempo dulu, misalnya praja Bayern, tetapi berjalan lebih lamban di praja-praja yang terlahir dari pelaksanaan hak-hak istimewa kaisar.
Pada abad ke-12, Liga Hansa mengukuhkan keberadaannya sebagai persekutuan dagang dan keamanan antarserikat usaha kota-kota kecil dan kota-kota besar di Kekaisaran Romawi Suci maupun di seluruh kawasan utara dan kawasan tengah Eropa. Liga Hansa mendominasi usaha dagang lintas laut di perairan Laut Baltik, Laut Utara, dan di sepanjang aliran sungai-sungai yang dapat dilayari. Setiap kota yang menjadi anggotanya tetap mempertahankan tatanan hukum pangeran prajanya masing-masing, dan hanya memiliki otonomi politik yang terbatas (kecuali kota-kota merdeka milik negara). Pada akhir abad ke-14, persekutuan besar itu sudah mulai berani memaksakan kepentingan-kepentingannya, bahkan bila perlu dengan kekuatan militer. Kenekatan semacam ini berpuncak pada perang melawan Kerajaan Denmark dari tahun 1361 sampai 1370. Liga Hansa mulai terpuruk selepas tahun 1450.[h]
Akhir Abad Pertengahan
Kesulitan-kesulitan dalam memilih raja pada akhirnya mendorong dibentuknya suatu dewan tetap pangeran-pemilih (Kurfürsten). Keanggotaan maupun tata acara persidangannya ditetapkan di dalam Bula Kencana tahun 1356 yang dikeluarkan oleh Kaisar Karel IV (memerintah tahun 1355–1378, menjadi Raja Bangsa Romawi sejak tahun 1346) dan berlaku sampai tahun 1806. Perkembangan ini mungkin sekali merupakan tanda yang paling nyata dari munculnya dualitas kaisar dan negara (Kaiser und Reich), karena kaisar tidak lagi dianggap identik dengan negara. Bula Kencana tahun 1356 juga menetapkan tata cara pemilihan Kaisar Romawi Suci. Kaisar tidak lagi terpilih karena memenangkan suara mayoritas, tetapi terpilih karena mendapatkan persetujuan dari ketujuh-tujuh pangeran-pemilih. Gelar pangeran-pemilih pun menjadi gelar turun-temurun, bahkan pangeran-pemilih dianugerahi hak untuk mencetak uang dan menjalankan kewenangan hukum. Putra-putra mereka dianjurkan untuk belajar menguasai bahasa-bahasa negara, yaitu bahasa Jerman, bahasa Latin, bahasa Italia, dan bahasa Ceko.[i] Kebijakan Kaisar Karel IV ini menjadi pokok perdebatan. Di satu pihak kebijakan ini membantu memulihkan kedamaian di seantero wilayah Kekaisaran Romawi Suci yang terus-menerus dilanda perang saudara sejak berakhirnya zaman kulawangsa Hohenstaufen, tetapi di lain pihak kebijakan ini "tidak pelak lagi menghantam kewenangan pemerintah pusat".[116] Menurut Thomas Brady Jr., Kaisar Karel IV sesungguhnya berniat mengakhiri pertentangan dalam pemilihan raja (jika dilihat dari sudut pandang kulawangsa Luksemburg, mereka turut diuntungkan karena Raja Bohemia mendapatkan kedudukan yang mulia dan bersifat tetap selaku salah seorang pangeran-pemilih).[118] Pada waktu yang sama, Kaisar Karel IV membangun Bohemia sebagai tanah pusaka utama kulawangsa Luksemburg di dalam wilayah Kekaisaran Romawi Suci dan sebagai basis kekuatan kulawangsa Luksemburg. Di Bohemia, masa pemerintahannya kerap diagung-agungkan sebagai zaman kegemilangan Bohemia. Meskipun demikian, menurut Thomas Brady Jr., di balik segala kegemerlapan itu, muncul satu permasalahan, yaitu pemerintah telah menyingkap ketidakberdayaannya dalam membendung arus pendatang Jerman ke Bohemia, yang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan aniaya. Proyek negara yang diprakarsai kulawangsa Luksemburg mangkrak pada masa pemerintahan anak Karel, Wenzel (memerintah sebagai Raja Bohemia dari tahun 1378 sampai 1419, memerintah sebagai Raja Bangsa Romawi dari tahun 1376 sampai 1400), yang juga menghadapi penentangan dari 150 keluarga ningrat setempat.
Kian susutnya kewenangan kaisar juga terungkap dari cara raja-raja pasca-Hohenstaufen mempertahankan kekuasaan mereka. Pada masa-masa sebelumnya, Kekuatan tempur (maupun kekuatan dana) Kekaisaran Romawi Suci sangat bergantung kepada tata kelola bumi narawita kaisar yang disebut Reichsgut, yakni tanah-tanah yang akan selalu menjadi milik siapa saja yang terpilih menduduki singgasana Raja Jerman, dan mencakup banyak kota milik negara. Selepas abad ke-13, hak milik atas Reichsgut semakin tidak ada artinya, kendati masih tersisa satu dua bidang tanah Reichsgut ketika Kekaisaran Romawi Suci dibubarkan pada tahun 1806. Kian hari kian banyak Reichsgut yang digadaikan kepada adipati-adipati setempat, kadang-kadang demi mengisi pundi-pundi negara, tetapi lebih sering sebagai ganjaran darmabakti atau sebagai upaya mencucuk hidung adipati-adipati tersebut. Mengelola Reichsgut secara langsung tidak lagi sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan raja maupun para adipati.
Raja-raja Jerman mulai dari Raja Rudolf I kian lama kian bergantung kepada tanah pusaka wangsanya masing-masing demi menopang kekuasaan mereka. Tidak seperti tanah-tanah Reichsgut yang kebanyakan terserak di berbagai pelosok negeri dan sukar untuk dikelola dengan baik, tanah-tanah pusaka wangsa relatif menyatu sehingga lebih mudah dikelola. Pada tahun 1282, Raja Rudolf I meminjamkan daerah Austria dan Stiria kepada putra-putranya sendiri. Pada tahun 1312, Heinrich VII, putra keluarga ningrat Luksemburg, dinobatkan sebagai Kaisar Romawi Suci yang pertama semenjak mangkatnya Kaisar Friedrich II. Semua Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci sesudah dirinya bergantung kepada tanah-tanah pusaka wangsanya (Hausmacht) masing-masing, misalnya Kaisar Ludwig IV dari keluarga ningrat Wittelsbach (menjadi raja tahun 1314, menjabat sebagai kaisar tahun 1328–1347) yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bayern, dan Kaisar Karel IV dari keluarga ningrat Lukesemburg, cucu Kaisar Heinrich VII, yang mengandalkan tanah-tanah pusaka keluarganya di Bohemia. Dengan demikian, demi kepentingan pribadinya, raja perlu memperkuat praja-praja, karena raja jualah yang akan memetik manfaatnya, mengingat di antara praja-praja tersebut terdapat pula praja-praja milik pusaka keluarganya sendiri.
Pada permulaan abad ke-15, "undang-undang dasar" Kekaisaran Romawi Suci belum terbentuk dengan sempurna. Kerap timbul perseteruan antarpangeran praja. Kaum "kesatria garong" (Raubritter) merajalela di mana-mana.
Pada waktu yang sama, Gereja Katolik sedang berkutat dengan masalahnya sendiri, yang juga berdampak terhadap kehidupan bernegara. Konflik di antara orang-orang yang sama-sama mendaku sebagai paus yang sah (satu orang paus yang "sah" dan dua orang paus tandingan) baru tuntas sesudah Konsili Konstanz terselenggara (tahun 1414–1418). Selepas tahun 1419, lembaga kepausan lebih banyak mencurahkan perhatian dan tenaganya untuk memberantas kaum Husite. Cita-cita luhur yang mengemuka pada Abad Pertengahan untuk mempersatukan seluruh Dunia Kristen menjadi satu negara saja, yang dituntun Gereja dan dipimpin Kekaisaran Romawi Suci, mulai kehilangan gaungnya.
Semua perubahan tersebut memuculkan banyak perbincangan pada abad ke-15 mengenai Kekaisaran Romawi Suci itu sendiri. Aturan-aturan dari masa lampau tidak lagi sejalan dengan perkembangan zaman, dan Landfrieden warisan masa lampau dirasa sangat perlu ditegakkan kembali.
Cita-cita pembaharuan negara dan Gereja yang berjalan serentak di tingkat negara terlahir dari gagasan Kaisar Sigismund (memerintah tahun 1433–1437, menjadi Raja Bangsa Romawi dari tahun 1411). Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kaisar Sigismund "memiliki kewaskitaan dan keluhuran budi yang tidak kunjung dijumpai di dalam diri seorang kepala negara monarki Jerman sejak abad ketiga belas". Meskipun demikian, tantangan dari luar, kekeliruan-kekeliruan yang dilakukannya sendiri, dan punahnya garis keturunan laki-laki kulawangsa Luksemburg, membuat cita-cita itu tidak kunjung tercapai.
Pada tahun 1452, Friedrich III menjadi penguasa pertama dari kulawangsa Habsburg yang dinobatkan menjadi Kaisar Romawi Suci.[123] Ia sangat berhati-hati dalam menyikapi gerakan pembaharuan di Kekaisaran Romawi Suci. Hampir sepanjang masa pemerintahannya, ia menganggap pembaharuan sebagai ancaman terhadap hak-hak prerogatifnya selaku kaisar. Ia mengindari konfrontasi-konfrontasi langsung, yang bisa saja berujung nista jika para pangeran praja tidak mau menurut.[124] Selepas tahun 1440, pembaharuan Kekaisaran Romawi Suci dan Gereja diusung dan dipimpin oleh tokoh-tokoh di tingkat lokal dan regional, teristimewa para pangeran praja.[125] Meskipun demikian, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, ada lebih banyak tekanan dari tingkat yang lebih tinggi untuk mengambil tindakan. Berthold von Henneberg, Uskup Agung Mainz, atas nama para pangeran praja yang menghendaki pembaharuan (ingin memperbaharui Kekaisaran Romawi Suci tanpa menguatkan kewenangan kaisar), mendesak kaisar untuk melakukan pembaharuan dengan memanfaatkan keinginan Friedrich III untuk melapangkan jalan bagi anaknya, Maximilian, supaya terpilih menjadi kaisar sesudah ia mangkat. Oleh karena itu, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, Kaisar Friedrich III memprakarsai ikhtiar perdana pembaharuan negara, yang kemudian hari meluas pada masa pemerintahan Maximilian. Kaisar Maximilian sendiri bersikap terbuka terhadap pembaharuan, meskipun pada hakikatnya ia juga ingin melanggengkan dan memperbesar hak-hak prerogatif kaisar. Sesudah Friedrich meninggalkan kesibukan penyelenggaraan negara dan beristirahat di Linz pada tahun 1488, sebagai suatu langkah kompromi, Maximilian bertindak sebagai perantara yang menghubungkan para pangeran praja dengan ayahandanya. Sesudah menjadi penguasa tunggal sepeninggal ayahandanya, Maximilian meneruskan kebijakan perantara ini, dengan menempatkan dirinya selaku wasit yang tidak berpihak di tengah berbagai pilihan yang diusulkan para pangeran praja.
Langkah-langkah besar Pembaharuan Negara ditetapkan di dalam sidang Permusyawaratan Negara di Worms pada tahun 1495. Di dalam sidang tersebut, diperkenalkan sebuah lembaga baru, yaitu Reichskammergericht (Mahkamah Negara), yang diharapkan menjadi lembaga yang tidak banyak bergantung kepada kaisar. Ditetapkan pula suatu pajak baru, khusus untuk mendanai lembaga tersebut, yakni Gemeine Pfennig, kendati baru dikutip pada masa pemerintahan Kaisar Karel V dan Kaisar Ferdinand I, itu pun tidak dipungut sepenuhnya.[127][128][129]
Dengan maksud untuk menciptakan sebuah lembaga tandingan bagi Reichskammergericht, pada tahun 1497, Kaisar Maximilian membentuk Reichshofrat (Majelis Istana Negara) yang berkedudukan di kota Wina. Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Kaisar Maximilian, Reichshofrat tidak populer. Dalam jangka panjang, Reichskammergericht maupun Reichshofrat sama-sama berfungsi, bahkan kadang-kadang saling tumpang tindih.
Pada tahun 1500, Kaisar Maximilian menyetujui pembentukan lembaga yang dinamakan Reichsregiment (Pemerintah Negara), beranggotakan dua puluh orang petinggi negara termasuk para pangeran-pemilih, diketuai oleh kaisar atau pejabat yang mewakilinya. Reichsregiment pertama kali dibentuk pada tahun 1501 di Nürnberg. Meskipun demikian, Kaisar Maximilian tidak menyukai keberadaannya, dan praja-praja pun gagal mendukung kiprahnya. Lembaga baru ini terbukti tidak mampu berbuat banyak di gelanggang politik, sehingga kewenangannya dikembalikan kepada Kaisar Maximilian pada tahun 1502.
Perubahan terpenting di bidang pemerintahan menyasar jantung rezim ini, yaitu lembaga ketatausahaan. Pada permulaan masa pemerintahan Maximilian, Tata Usaha Istana di Innsbruck bersaing dengan Tata Usaha Negara yang diketuai Uskup Agung pangeran Praja Mainz, penata usaha kawakan Kekaisaran Romawi Suci. Dengan melimpahkan urusan-urusan politik di Tyrol, Austria maupun masalah-masalah negara kepada Tata Usaha Istana, Maximilian sedikit demi sedikit memusatkan kewenangan ketatausahaan pada lembaga tersebut. Tata Usaha Istana dan Tata Usaha Negara akhirnya disatukan pada tahun 1502. Pada tahun 1496, Kaisar Maximilian membentuk suatu lembaga perbendaharaan umum (Hofkammer) di Innsbruck, yang bertanggung jawab menangani urusan-urusan terkait semua tanah pusaka turun-temurun. Badan pemeriksa keuangan (Raitkammer) di Wina ditempatkan di bawah naungan lembaga ini. Di bawah pimpinan Paul von Liechtenstein [de], Hofkammer tidak saja dipercaya untuk menangani urusan-urusan tanah pusaka turun-temurun, tetapi juga menangani urusan-urusan Maximilian selaku Raja Jerman.[135]
Pada sidang Permusyawaratan Negara tahun 1495 di Worms, pemberlakuan hukum Romawi dipercepat dan diundangkan. Hukum Romawi dijadikan ketentuan yang bersifat mengikat di pengadilan-pengadilan Jerman, kecuali jika bertentangan dengan anggaran dasar praja.[137] Pada praktiknya, hukum Romawi menjadi hukum asasi di seluruh negeri Jerman, menggeser banyak sekali hukum asli Jermani, meskipun hukum Jermani masih dipakai di pengadilan-pengadilan tingkat bawah.[138][139][140][141] Selain demi mewujudkan niat untuk mencapai kesatuan hukum dan berbagai faktor lain, pemberlakuan hukum Romawi juga dilakukan demi menonjolkan kesinambungan Kekaisaran Romawi Suci dengan kemaharajaan bangsa Romawi tempo dulu.[142] Guna mewujudnyatakan keputusannya untuk merombak dan menyatukan tatanan hukum, Kaisar Maximilian kerap langsung turun tangan menuntaskan perkara-perkara hukum di tingkat praja, dengan melangkahi piagam-piagam maupun adat-istiadat praja. Sikap semacam itu tidak jarang menuai sindiran maupun kecaman dari dewan-dewan pemerintahan praja yang hendak menjaga kelanggengan undang-undang asli praja.
Perombakan tatanan hukum benar-benar melemahkan mahkamah Feme warisan masa lampau (Vehmgericht, atau Mahkamah Rahasia Westfalen, yang turun-temurun diyakini sebagai lembaga bentukan Karel Agung, meskipun sudah diragukan kebenarannya dewasa ini[144][145]), meskipun mahkamah ini baru benar-benar bubar pada tahun 1811 (dihapuskan atas perintah Jérôme Bonaparte).[146][147]
Maximilian maupun Karel V (meskipun pada hakikatnya kedua kaisar ini berjiwa internasionalis[151][152]) adalah tokoh-tokoh yang pertama kali mengangkat wacana bangsa, yang disamakan dengan Reich oleh kaum humanis pada masa itu. Dengan dorongan dari Maximilian dan para humanisnya, sosok-sosok nirjasad terkenal kembali diketengahkan atau kembali memasyarakat. Para humanis menemukan kembali risalah Jermania karya pujangga Tacitus. Menurut Peter H. Wilson, sosok perempuan yang dinamakan Jermania adalah sosok yang direka ulang Kaisar Maximilian menjadi Bunda Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman yang berbudi luhur lagi cinta damai. Whaley menduga bahwa, meskipun kemudian hari timbul perpecahan akibat perbedaan agama, "motif-motif kecintaan kepada tanah air ditumbuhsuburkan pada masa pemerintahan Maximilian, baik oleh Maximilian sendiri maupun oleh para sastrawan humanis yang tanggap terhadap kebijakannya tersebut, melahirkan inti sari sebuah budaya politik kebangsaan."[154]
Pada masa pemerintahan Maximilian pula ragam umum bahasa Jerman berangsur-angsur tampil menonjol, terutama berkat jasa jawatan tata usaha negara dan jawatan tata usaha praja Kadipaten Saksen, daerah kekuasaan Friedrich Bijaksana, pangeran-pemilih dari wangsa Wettin.[155][156] Perkembangan industri percetakan beserta kemunculan sistem pos (sistem pos modern pertama di dunia[157]), yang diprakarsai sendiri oleh Maximilian dengan sokongan dari Adipati Friedrich Bijaksana dan Adipati Karel Nekat, menuntun kepada revolusi di bidang komunikasi dan membuka jalan bagi penyebarluasan gagasan-gagasan. Berbeda dari situasi di negara-negara yang lebih tersentralisasi pemerintahannya, sifat keterdesentralisasian Kekaisaran Romawi Suci membuat membuat penyensoran menjadi perkara yang sukar dilaksanakan.[158][159][160]
Terence McIntosh berpendapat bahwa kebijakan agresif ekspansionis yang dijalankan Kaisar Maximilian I dan Kaisar Karel V pada masa-masa pembentukan negara Jerman modern perdana (kendati tidak memajukan sasaran-sasarannya menjadi spesifik bagi bangsa Jerman per se), yang mengandalkan sumber daya manusia Jerman maupun pemanfaatan tenaga Landsknechte dan tentara upahan yang terkenal garang, berdampak kepada cara negara-negara tetangga memandang politas Jerman tersebut, kendati Jerman dalam jangka panjang cenderung aman sentosa.[162]
Maximilian adalah "Kaisar Romawi Suci yang pertama dalam 250 tahun yang memimpin sekaligus meraja". Pada permulaan dasawarsa 1500-an, ia adalah majikan sejati Kekaisaran Romawi Suci, meskipun kekuasaanya melemah pada dasawarsa terakhir menjelang kemangkatannya.[164] Whaley mencermati bahwa, meskipun penuh dengan pergumulan, yang muncul pada akhir masa pemerintahan Maximilian adalah monarki yang sudah kukuh, dan bukan oligarki pangeran-pangeran praja. Benjamin Curtis berpendapat bahwa sekalipun tidak mampu sepenuhnya menciptakan suatu pemerintahan umum yang menaungi seluruh praja (meskipun tata usaha negara dan sidang majelis istana mampu menangani berbagai urusan di seluruh wilayah kedaulatan negara), Maximilian memperkuat fungsi-fungsi administratif penting di Austria dan membentuk jawatan-jawatan pusat untuk menangani urusan-urusan keuangan, politik, dan peradilan – jawatan-jawatan ini menggantikan sistem feodal dan merepresentasikan suatu sistem yang lebih modern yang dikelola oleh pejabat-pejabat yang diprofesionalkan. Sesudah dua dasawarsa mereformasi negara, kaisar mempertahankan kedudukannya sebagai tokoh yang dituakan di antara rekan-rekan yang sederajat, sementara negara mendapatkan lembaga-lembaga umum yang menjadi sarana kaisar untuk berbagi kekuasaan dengan berbagai golongan warga negara.
Pada awal abad ke-16, para penguasa Habsburg menjadi kepala-kepala negara terkuat di Eropa, tetapi kekuatan mereka bertumpu pada keseluruhan percabangan monarki yang mereka bentuk, bukan hanya pada Kekaisaran Romawi Suci (baca juga Masa pemerintahan Kaisar Karel V).[167][168] Maximilian sempat serius mempertimbangkan untuk menyatukan tanah-tanah lungguh Burgundia (warisan istinya, Maria dari Burgundia) dengan tanah-tanah lungguh Austria miliknya untuk membentuk suatu wilayah inti yang kukuh (sembari meluaskan wilayah ke timur). Sesudah masuknya Spanyol ke dalam lingkup kemaharajaan wangsa Habsburg yang terjadi tanpa disangka-sangka, ia pernah berniat meninggalkan Austria (ditingkatkan statusnya menjadi kerajaan) kepada cucunya yang lebih muda, Ferdinand.[170] Cucunya yang lebih tua, Karel V, kelak menyerahkan Spanyol dan hampir semua tanah lungguh Burgundia kepada purtanya, Felipe, pendiri wangsa Habsburg cabang Spanyol, dan menyerahkan tanah-tanah pusaka Habsburg kepada adiknya, Ferdinand, pendiri wangsa Habsburg cabang Austria.
Di Prancis dan Inggris, mulai dari abad ke-13, kediaman tetap raja mulai berkembang menjadi ibu kota yang tumbuh pesat dan diperlengkapi dengan prasarana-prasarana yang dibutuhkannya. Palais de la Cité di Prancis dan Istana Westminster di Inggris menjadi kediaman utama raja. Perkembangan seperti ini mustahil terjadi di Kekaisaran Romawi Suci lantaran tidak adanya pemerintahan monarki yang sungguh-sungguh herediter.
Meskipun menghambat sentralisasi kekuasaan di Kekaisaran Romawi Suci, partikularisme melahirkan perkembangan-perkembangan awal kapitalisme. Di kota-kota Italia seperti Genova dan Pisa maupun kota-kota Liga Hansa seperti Hamburg dan Lübeck, muncul kaum saudagar-petarung yang merintis kemaharajaan-kemaharajaan kelautan rompak-dan-dagang. Praktik-praktik semacam ini meredup sebelum tahun 1500, tetapi telanjur menyebar sampai ke persekitaran maritim di Portugal, Spanyol, Belanda, serta Inggris, dan "menumbuhkan semangat bersaing dalam skala yang lebih besar, yang bertaraf samudra" di negara-negara itu.[172] William Thompson sependapat dengan M.N.Pearson bahwa fenomena yang khas Eropa ini terjadi lantaran di kota-kota Italia dan kota-kota Liga Hansa yang tidak memiliki sumber daya dan "kecil ukuran maupun populasinya" para penguasa (yang status sosialnya tidak jauh lebih tinggi daripada status sosial para saudagar) harus mencurahkan perhatiannya pada perdagangan. Dengan demikian para saudagar-pejuang mendapatkan kuasa negara untuk memaksa, yang mustahil mereka dapatkan di negeri Mughal maupun negeri-negeri lain di Asia, tempat kepala negara tidak begitu berkepentingan untuk membantu golongan saudagar, lantaran menguasai sumber-sumber daya yang lumayan besar dan berpenghasilan yang erat terkait dengan tanah.[173]
Pada dasawarsa 1450-an, perkembangan ekonomi di kawasan selatan Jerman menumbuhkan kemaharajaan-kemaharajaan perbankan, kartel-kartel, dan monopoli-monopoli di kota-kota seperti Ulm, Regensburg, dan Augsburg. Pada khususnya Augsburg, kota yang dikait-kaitkan dengan reputasi keluarga Fugger, keluarga Welser, dan keluarga Baumgartner ini dianggap sebagai ibu kota kapitalisme perdana.[174][175] Augsburg sangat diuntungkan oleh pembentukan dan perluasan Kaiserliche Reichspost pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.[158][157] Bahkan ketika kemaharajaan wangsa Habsburg mulai melebarkan sayapnya ke negeri-negeri lain di Eropa, kesetiaan Maximilian kepada Augsburg, tempat pelaksanaan sebagian besar kebijakannya, membuat kota kekaisaran itu menjadi "pusat utama kapitalisme perdana" pada abad abad ke-16, dan "lokasi kantor pos yang paling penting di wilayah Kekaisaran Romawi Suci". Dari zaman Maximilian, manakala "titik-titik perhentian akhir jalur-jalur pos lintas benua yang pertama" mulai bergeser dari Innsbruck ke Venesia dan dari Brussels ke Antwerpen, sistem komunikasi dan pasaran warta berita di kota-kota tersebut mulai mapan. Karena perusahaan keluarga Fuggers maupun perusahaan-perusahaan dagang lainnya menempatkan cabang-cabang utamanya di kota-kota itu, mereka juga mendapatkan akses ke sistem-sistem tersebut.[176] Bagaimanapun juga, kebangkrutan wangsa Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1557, 1575, dan 1607 sangat merugikan perusahaan keluarga Fugger. Selain itu, "penemuan jalur laut menuju India dan Dunia Baru menggeser fokus perkembangan ekonomi Eropa dari Laut Tengah ke Samudra Atlantik – kota-kota yang diutamakan bukan lagi Venesia dan Genova, melainkan Lisboa dan Antwerpen. Pada akhirnya perkembangan usaha tambang mineral Amerika membuat kekayaan mineral Hongaria dan Tirol menjadi tidak begitu penting lagi. Jaringan benua Eropa terus terkurung daratan sampai tiba masa pengupayaan angkutan barang lewat darat terutama dalam bentuk sistem rel dan sistem terusan, yang terbatas potensi pertumbuhannya; di lain pihak, di benua baru, ada banyak sekali pelabuhan untuk menggelontorkan limpahan barang yang diperoleh dari negeri-negeri baru itu." Puncak kejayaan ekonomi yang dicapai di Jerman pada kurun waktu antara tahun 1450 sampai 1550 tidak pernah terlihat lagi sampai akhir abad ke-19.
Di praja-praja Kekaisaran Romawi Suci yang terletak di Negeri Tanah Rendah, pusat-pusat finansial tumbuh bersama pasar-pasar komoditas. Perkembangan topografis pada abad ke-15 mengubah Antwerpen menjadi sebuah kota pelabuhan. Bermodalkan hak-hak istimewa yang diterimanya selaku kota yang setia kepada kaisar seusai pemberontakan orang Flandria melawan Maximilian, Antwerpen menjadi kota pelabuhan laut utama di Eropa Utara dan tampil sebagai "penyalur 40% perdagangan dunia".[179][180][181] Meskipun demikian, konflik dengan pemerintah Habsburg cabang Spanyol pada tahun 1576 dan 1585 membuat para sardaugar berpindah ke Amsterdam, yang akhirnya menggantikan Antwerpen sebagai kota pelabuhan utama.[182]
Kesalahan pengutipan: Tag dengan nama "prince" yang didefinisikan di
Kesalahan pengutipan: Tag dengan nama "isites" yang didefinisikan di
Pembaharuan Kekaisaran Romawi
Bangsa Franka merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang memasuki Eropa pada masa-masa senja Kekaisaran Romawi. Dalam beberapa abad menjelang runtuhnya Kekaisaran Barat Romawi, mereka yang mendirikan kerajaan lalu berperang kemudian naik daun, jatuh dalam sekejap. Pada pertengahan abad kedelapan, Pipin Pendek (memerintah 751-768 M) turut serta dalam hiruk-pikuk ini saat ia menjadi raja Franka.
SETELAH CHARLEMAGNE MENGALAHKAN MUSUH PAUS, SANG PAUS MEMBAWA PERSEKUTUAN MEREKA LEBIH JAUH DAN MENOBATKAN IA SEBAGAI KAISAR ROMAWI.
Selebihnya, Pipin mendapatkan restu dari Paus untuk mendirikan Dinasti Karolingian yang baru. Sebagai uskup di Roma dan pusat dari gerakan penginjilan, sang Paus memiliki pengaruh yang besar atas uskup-uskup lain di utara dan barat. Namun menjadi tokoh terpenting di gereja abad pertengahan di Eropa Barat bukan berarti luput dari bahaya, sehingga bersekutu dengan seorang penguasa besar sangatlah membantu. Dinasti yang Pipin dirikan nantinya lebih dikenal setelah nama putranya, Karolus Agung, Carolus Magnus, atau umumnya, Charlemagne (742-814 M).
Charlemagne memperluas kerajaannya, yang tadinya sudah terluas di Eropa Barat, hinggga melampaui yang sekarang adalah wilayah Prancis, Belgia, Belanda, Luxemburg, barat Jerman, Swiss, Slovenia, dan Italia utara. Selain itu, ia giat menyebarkan ajaran Kristiani dan ajaran klasik, dalam Bahasa Latin, di negeri nan luasnya. Setelah Charlemagne mengalahkan musuh Paus, yaitu Bangsa Lombardia di Italia, sang Paus membawa persekutuan mereka lebih jauh. Pada hari Natal tahun 800 M, Paus Leo III menobatkan ia sebagai Kaisar Romawi. Konon, Charlemagne terkejut dan dengan rendah diri merasa terhormat, namun nampaknya ini adalah karangan politik untuk menaikan citra Gereja dan Kekaisaran.
Penobatan CharlemagneFriedrich Kaulbach (Public Domain)
Penobatan Charlemagne
Friedrich Kaulbach (Public Domain)
Negeri Franka ini runtuh pasca putra Charlemagne mangkat. Perjanjian Verdun, pada 843 Masehi, membagi Karolingia di antara cucu-cucu Charlemagne. Seharusnya, daerah di Italia utara adalah tempat dimana tahkta kekaisaran berada, namun daerah timur – Francia Timur, mencakup sebagian besar yang sekarang adalah Jerman – merupakan yang terkuat. Sang Paus memiliki masalah dengan tetangganya di utara sejak dahulu, dan sama seperti Leo memanggil Charlemagne untuk menguasai Lombardia dengan imbalan berupa gelar kaisar, Otto yang Agung, raja Francia Timur, datang dan menguasai Italia utara pada 961 M. Setahun kemudian, pada 962 M, ia dinobatkan kaisar, dan mendirikan sebuah Kekaisaran Romawi Suci yang baru berdiri di tengah-tengah Jerman.
PAUS DAN KAISAR DIKENAL SEBAGAI DUA PEDANG, PEMIMPIN SIMBOLIS EROPA UTARA DAN BARAT, ATAU KEKRISTENAN LATIN.
Kesepakatan antara Paus dan kaisar di sini menjadi sedikit lebih rumit. Persekutuan oleh penguasa besar dan pemimpin gereja di barat kini menghadapi peradaban baru, yang sekarang kita sebut Eropa abad pertengahan. Paus dan kaisar dikenal sebagai Dua Pedang, pemimpin simbolis Eropa Utara dan Barat, atau Kekristenan Latin. Sang Paus akan berbagi kehidupan beragama mereka sedangkan sang kaisar akan mewakili dunia politik yang mereka bagi bersama.
Kaisar bukanlah sekedar gelar mewah, Ini berarti memimpin Roma, yang sejarahnya sangatlah membekas di Eropa. Agar memahami ini, kita perlu melihat Kitab Daniel di Perjanjian Lama. Daniel bernubuat bahwa akan ada empat kekaisaran di dunia sebelum hari kiamat. Translatio imperii adalah tajuk untuk bagaimana sebuah kekaisaran akan digantikan oleh yang lain. Pada Abad Kuno Akhir, pandangan Kristen akan nubuat ini adalah setiap kekaisaran bergerak sedikit ke arah barat, dan berakhir di Kekaisaran Romawi. Mengetahui bahwa dunia belum berakhir, sejauh yang kita tahu, konsep dari translatio imperii mungkin yang mencetuskan perombakan untuk sebuah Kekaisaran Romawi Kristen di dunia barat. Kekaisaran Romawi yang baru ini adalah kelanjutan dari kekaisaran terakhir di bumi, dan orang-orang Eropa akan melihat hari kiamat di bawah kekuasaannya.
Kekaisaran Bizantium masih memegang tajuk sebagai Kekaisaran Romawi, namun Latin Barat memiliki pandangan pemisahan antara mereka dari Yunani Timur. Walau gereja timur dan barat belum dipisahkan pada waktu Charlemagne hidup, namun budaya mereka sudah sudah berkembang jauh berbeda satu dari yang lain. Gereja barat dikuasai oleh sang Paus di Roma, sementara di timur, ia hanyalah salah satu dari sekian banyak uskup. Pandangan dari peradaban Kristen-Romawi Latin barat yang terpisah cukup diterima oleh mereka yang tinggal di situ. Mereka cenderung menggambarkan negara mereka sebagai Pembaharuan dari Kekaisaran Romawi (Renovatio imprerii Romanorum) ketimbang Kekaisaran Romawi Suci. Istilah itu kemudian menggantikannya pada 1100-an, namun konsepnya tetap sama.
Peta Kekaisaran Romawi Suci, 972-1032 MSémhur (CC BY-SA)
Peta Kekaisaran Romawi Suci, 972-1032 M
Dengan memahami istilah tersebut, bagaimana orang-orang kala itu memahaminya, maka akan memiliki arti:
Menariknya, Kekaisaran Romawi Timur nantinya mengikuti pemahaman yang sama dengan cara berbeda. Ortodoks Yunani dan Gereja Katolik Latin secara resmi berpisah saat Paus dan Patriark Konstantinopel saling mengucilkan pada 1054 Masehi. Mereka yang nantinya menjadi bangsa Slavia Timur sudah terpengaruh budaya Ortodoks Yunani yang berasal dari Bizantium sejak dahulu. Setelah jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kesultanan Ustmaniyah pada tahun 1453, Moskow kemudian mengambil tajuk translatio imperii dan menyebut diri mereka ‘Roma Ketiga’ dengan kaisar (Tsar) sebagai kepala negara.
Puncak Abad Pertengahan
Raja-raja acap kali mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan kenegaraan, dan kerap menentukan orang-orang yang akan diangkat menjadi petinggi Gereja. Selepas pembaharuan Kluni, campur tangan raja dalam urusan pengangkatan petinggi Gereja dinilai tidak patut oleh lembaga kepausan. Paus Gregorius VII yang berwawasan pembaharuan bertekad untuk melawan amalan-amalan semacam itu, sehingga menimbulkan sengketa investitur dengan Raja Heinrich IV (memerintah tahun 1056-1106, dinobatkan menjadi kaisar tahun 1084).
Heinrich IV menjegal langkah Sri Paus, dan membujuk para uskup untuk mengekskomunikasi Sri Paus, yang suka ia sebut dengan nama lahirnya saja, yaitu Hildebrand, alih-alih dengan nama kepausannya, Gregorius. Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich, menafikan keabsahan jabatannya, dan membatalkan semua sumpah prasetia yang diikrarkan orang kepadanya.[23] Ketika sadar sudah kehilangan hampir semua dukungan politik, Heinrich pun merendahkan dirinya dengan menanggung malu berjalan kaki ke Kanosa pada tahun 1077, dan berhasil meluluhkan hati Sri Paus untuk mencabut hukuman ekskomunikasi yang ditimpakan kepada dirinya. Sementara itu, para pangeran praja di Jeman sudah memilih Adipati Rudolf, pangeran praja Swaben, menjadi raja menggantikan Heinrich.
Heinrich berhasil mengalahkan Rudolf, tetapi sebagai konsekuensinya harus menghadapi lebih banyak lagi pemberontakan, hukuman ekskomunikasi yang sekali lagi ditimpakan kepada dirinya, bahkan harus menghadapi pemberontakan anak-anaknya sendiri. Sesudah Heinrich mangkat, anaknya, Heinrich V, berhasil mencapai kata mufakat dengan Sri Paus dan para uskup yang dituangkan ke dalam Konkordat Worms tahun 1122. Kuasa politik Kekaisaran Romawi Suci dapat dipertahankan, tetapi sengketa investitur telah menyingkap batas-batas kedaulatan raja, teristimewa dalam kaitannya dengan Gereja, dan telah melucuti status keramat yang sebelumnya melekat pada diri raja. Sri Paus dan para pangeran praja Jerman pun tampil mengemuka sebagai pemain-pemain utama di gelanggang politik Kekaisaran Romawi Suci.
Sebagai akibat dari Ostsiedlung, daerah-daerah jarang penduduk di Eropa Tengah (daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk, dewasa ini termasuk wilayah negara Polandia dan Ceko) dimasuki pendatang penutur bahasa Jerman dalam jumlah yang cukup signifikan. Daerah Silesia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi Suci sebagai akibat dari usaha para adipati kulawangsa Piast untuk berswatantra, lepas dari campur tangan pemerintah Kerajaan Polandia.[102] Sejak abad ke-12, praja kadipaten Pomerania bernaung di bawah nama besar Kekaisaran Romawi Suci, dan aksi penaklukan yang dilancarkan Tarekat Kesatria Teuton mengubah daerah itu menjadi praja penutur bahasa Jerman.
Awal Abad Pertengahan
Surutnya kekuasaan Romawi di Galia pada abad ke-5 dimanfaatkan oleh suku-suku Jermani setempat untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6, kulawangsa Merowing di bawah pimpinan Klovis I dan para penggantinya, mempersatukan suku-suku Franka dan menundukkan suku-suku lain demi menguasai kawasan utara Galia dan kawasan tengah daerah lembah sungai Rhein. Meskipun demikian, pada pertengahan abad ke-8, raja-raja Merowing hanya memerintah sebagai raja-raja boneka, karena kendali pemerintahan sesungguhnya berada dalam cengkeraman kulawangsa Karling di bawah pimpinan Karel Martel. Pada tahun 751, anak Karel Martel yang bernama Pipin naik takhta menjadi Raja orang Franka, bahkan kemudian hari berhasil mendapatkan restu Sri Paus.[57] Sejak saat itu kulawangsa Karling menjalin persekutuan yang erat dengan lembaga kepausan.
Pada tahun 768, anak Pipin yang bernama Karel Agung naik takhta menjadi Raja orang Franka. Ia memprakarsai usaha perluasan wilayah, dan pada akhirnya berhasil mendaulat wilayah luas yang dewasa ini menjadi wilayah negara Prancis, wilayah negara Jerman, kawasan utara wilayah Italia, wilayah Negeri-Negeri Tanah Rendah, malah lebih luas lagi, sampai wilayah kedaulatan orang Franka berdempet dengan wilayah kedaulatan Sri Paus.
Meskipun masyarakat Italia sudah lama mendongkol lantaran merasa kurang sejahtera hidup di bawah kekuasaan Romawi Timur, gejolak politik baru timbul pada tahun 726, dipicu oleh kebijakan ikonoklasme Kaisar Leo orang Isauria, yang dipandang Paus Gregorius II sebagai penyimpangan akidah termutakhir dari rentetan penyimpangan akidah yang dilakukan oleh kepala negara Kekaisaran Romawi. Pada tahun 797, Ibu Suri Irene memakzulkan Kaisar Konstantinus VI, kemudian menyatakan diri sebagai penguasa tunggal. Lantaran hanya kepala negara berjenis kelamin laki-laki yang diakui Gereja Latin sebagai pemimpin Dunia Kristen, Paus Leo III pun berikhtiar mencari orang lain yang layak menyandang kehormatan itu tanpa bertukar pikiran lebih dulu dengan Batrik Konstantinopel.[62]
Jasa Karel Agung bagi Gereja, karena membela kedaulatan Sri Paus dari rongrongan orang Lombardi, menjadikannya calon yang ideal. Pada hari Natal tahun 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Dunia Barat sesudah lebih dari tiga abad lamanya menghilang.[62] Langkah Sri Paus ini dapat dianggap sebagai perpalingan simbolis lembaga kepausan dari Kekaisaran Romawi Timur yang sedang terpuruk kepada kekuatan baru, yakni kerajaan bangsa Franka di bawah pemerintahan kulawangsa Karling. Karel Agung mengadopsi semboyan Renovatio imperii Romanorum (pembaharuan Kekaisaran Romawi). Pada tahun 802, Irene digulingkan dan diasingkan oleh Kaisar Nikeforos I. Sejak saat itulah ada dua kepala negara yang sama-sama bergelar Kaisar Bangsa Romawi.
Sesudah Karel Agung mangkat pada tahun 814, mahkota kekaisaran turun kepada anaknya, Ludwig Warak. Sesudah Ludwig Warak mangkat pada tahun 840, mahkota kerajaan turun kepada anaknya, Lothar. Pada waktu itulah seantero wilayah yang pernah dikuasai mendiang Karel Agung dibagi-bagi menjadi beberapa wilayah kedaulatan (bdk. Perjanjian Verdun, Perjanjian Prüm, Perjanjian Meerssen, dan Perjanjian Ribemont), dan sepanjang sisa abad ke-9 gelar kaisar diperebutkan oleh para kepala negara Kerajaan Franka Barat (Francia Barat) dan Kerajaan Franka Timur (Francia Timur) yang sama-sama berasal dari kulawangsa Karling. Mula-mula gelar itu jatuh ke pundak Raja Franka Barat (Karel Gundul), tetapi kemudian beralih ke pundak Raja Franka Timur (Karel Gemuk), tokoh yang berhasil mempersatukan kembali kemaharajaan bangsa Franka, kendati tidak bertahan lama. Pada abad ke-9, Karel Agung dan para penggantinya berikhtiar memajukan taraf pendidikan dan kebudayaan di negaranya, ikhtiar yang dikenal dengan sebutan Renainsans Karling. Beberapa sarjana, misalnya Mortimer Chambers,[65] berpandangan bahwa Renaisans Karling dapat terwujud berkat adanya renaisans-renainsans susulan (kendati pada awal abad ke-10, tidak ada lagi ikhtiar semacam itu).[66]
Sesudah Karel Gemuk mangkat pada tahun 888, kemaharajaan wangsa Karling terpecah-belah dan tidak kunjung dapat dipersatukan kembali. Petawarikh Regino dari Prüm meriwayatkan bahwa bagian-bagian dari kemaharajaan itu "memuntahkan empat orang raja kecil", dan masing-masing bagian memilih seorang raja kecil "dari isi perutnya sendiri". Salah seorang kaisar semacam itu adalah Berengarius, Kaisar di Italia, yang mangkat pada tahun 924.
Sekitar tahun 900, praja-praja kadipaten kesukuan swatantra di Kerajaan Franka Timur (Franken, Bayern, Swaben, Saksen, dan Lotharingen) kembali berani unjuk gigi. Sesudah Raja Ludwig Bocah dari kulawangsa Karling mangkat tanpa meninggalkan keturunan pada tahun 911, Kerajaan Franka Timur tidak diam saja menunggu negaranya didaulat Raja Franka Barat yang juga berasal dari kulawangsa Karling, tetapi memilih salah seorang pangeran praja Franka Timur, yakni Adipati Konrad, pangeran praja Franken, menjadi Rex Francorum Orientalium. Menjelang tutup usia, Konrad merelakan mahkota kerajaan diambil alih saingan utamanya, Adipati Heinrich Penjerat Burung, pangeran praja Saksen yang terpilih menjadi raja dalam sidang Permusyarawatan Negara di Fritzlar pada tahun 919. Heinrich berhasil menyepakati gencatan senjata dengan bangsa Magyar yang merongrong wilayah Franka Timur, dan untuk pertama kalinya berhasil mengalahkan mereka pada tahun 933 dalam Pertempuran Riade.
Heinrich mangkat pada tahun 936, tetapi anak cucunya, yakni kulawangsa Liudolfing atau kulawangsa Otto, terus memerintah Kerajaan Franka Timur atau Kerajaan Jerman selama kurang lebih satu abad. Sepeninggal Heinrich Penjerat Burung, Otto, anak yang ia tetapkan menjadi penggantinya, terpilih menjadi raja di Aachen pada tahun 936. Otto harus berjuang menghadapi serangkaian pemberontakan yang dikobarkan adiknya sendiri dan beberapa orang adipati. Sesudah berhasil memadamkan pemberontakan, Otto mampu mengendalikan pengangkatan adipati dan kerap mempekerjakan para uskup untuk menangani urusan-urusan pemerintahan. Ia mengganti hampir semua pangeran praja terkemuka di Franka Timur dengan sanak saudaranya, tetapi juga menutup peluang bagi sanak saudara untuk merongrong kedaulatannya.[73][74]
Pada tahun 951, Otto maju berperang membela Tuan Putri Adelheid di Italia, mengalahkan musuh-musuhnya, kemudian menikahinya, dan mengambil alih kekuasaan atas Italia. Pada tahun 955, Otto dengan telak mengalahkan bangsa Magyar dalam Pertempuran Lechfeld. Pada tahun 962, Otto dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII, sehingga urusan-urusan pemerintahan Kerajaan Jerman pun tersangkutpautkan dengan urusan-urusan pemerintahan Italia dan lembaga kepausan. Penobatan Otto menjadi kaisar membuat raja-raja Jerman tercitrakan sebagai ahli-ahli waris kemaharajaan Karel Agung, dan karena keabsahan kaisar ditumpukan pada konsep translatio imperii, raja-jara Jerman pun memandang diri mereka sebagai para penerus kepemimpinan negara Roma Kuno. Perkembangan seni budaya yang bermula pada masa pemerintahan Otto dikenal dengan sebutan Renaisans Otto. Perkembangan ini berpusat di Jerman, tetapi juga melanda Italia Utara dan Prancis.[77][78]
Otto menciptakan sistem jemaat kekaisaran, yang kerap disebut "sistem Reich jemaat Otto". Sistem ini mengikat jemaat-jemaat Gereja yang besar berikut wakil-wakilnya kepada tugas-tugas kenegaraan, sehingga terwujudlah "suatu pranata yang kukuh dan langgeng bagi negeri Jerman".[79][80] Pada zaman kulawangsa Otto, kaum wanita memainkan peran penting di bidang politik dan keagamaan, seringkali dengan memadukan peran mereka selaku tokoh agama dengan peran selaku penasihat raja, wali raja, atau kepala pemerintahan bersama raja. Tokoh-tokoh perempuan yang terkemuka adalah Permaisuri Mathilde, Permaisuri Edgitha, Permaisuri Adelheid, Permaisuri Teofanu, dan Putri Pemangku Mathilde.[81][82][83][84]
Pada tahun 963, Otto memakzulkan Paus Yohanes XII dan menetapkan Leo VIII sebagai paus yang baru (kendati Paus Yohanes XII dan Paus Leo VIII sama-sama mendaku sebagai paus yang sah sampai Paus Yohanes XII wafat pada tahun 964). Tindakan tersebut membuka kembali sengketa lama dengan Kaisar Romawi Timur, lebih-lebih sesudah anak Otto, yakni Kaisar Otto II (memerintah tahun 967-983), memakai gelar imperator Romanorum (kaisar bangsa Romawi). Meskipun demikian, Otto II menjalin hubungan kekerabatan dengan kaum ningrat Romawi Timur dengan memperistri Putri Teofanu. Anak mereka, yakni Kaisar Otto III, naik takhta ketika baru berumur tiga tahun, sehingga tidak berdaya mengatasi persaingan kaum ningrat yang haus kekuasaan, dan harus pasrah diwakili oleh para pemangku yang silih berganti menjalankan pemerintahan sampai dia cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 994. Sampai dengan saat itu, Otto III hanya bermastautin di Jerman, sementara Kresensius II, seorang pecatan adipati, bersimaharajalela memerintah Roma dan sebagian wilayah Italia, mungkin dengan mencatut namanya.
Pada tahun 996, Otto III menetapkan saudara sepupunya menjadi paus pertama yang berkebangsaan Jerman, yakni Paus Gregorius V. Paus dari bangsa asing dan para petinggi kepausan dari bangsa asing dilirik dengan penuh kecurigaan oleh kaum ningrat Roma, yang akhirnya memberontak di bawah pimpinan Kresensius II. Mantan guru pembimbing Otto III, Antipaus Yohanes XVI, sempat menguasai Roma sampai kota itu direbut Kaisar Romawi Suci.
Otto III mangkat dalam usia yang masih terbilang muda pada tahun 1002. Ia digantikan oleh saudara sepupunya, Kaisar Heinrich II, yang lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada negeri Jerman. Usaha-usaha diplomatik Otto III (dan guru pembimbingnya, Paus Silvester) dilancarkan bertepatan dengan, dan mempermulus jalan bagi, usaha kristenisasi dan penyebarluasan budaya Latin di berbagai pelosok Eropa.[89][90] Otto III dan Paus Silvester berhasil menggiring masuk serumpun bangsa baru (bangsa Slav) ke dalam lingkup pranata Eropa, dan menjadikan Kekaisaran Romawi Suci, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana, sebagai "ketua himpunan kekeluargaan bangsa-bangsa menyerupai Kekaisaran Romawi Timur, yang berpusat pada paus dan kaisar di Roma". Langkah ini terbukti merupakan capaian yang berumur panjang.[91][92][93][94] Kemangkatan Otto III saat masih muda membuat masa pemerintahannya menjadi "kisah tentang sekian banyak daya berkarya yang tidak sempat mewujud nyata".[95][96]
Heinrich II mangkat pada tahun 1024, dan digantikan oleh Konrad II, penguasa pertama dari kulawangsa Sali. Konrad II terpilih menjadi raja sesudah melewati perdebatan para adipati dan kaum ningrat. Kalangan adipati dan kaum ningrat inilah yang kemudian hari menjadi majelis pangeran-pemilih.
Kekaisaran Romawi Suci pada akhirnya menjadi sebuah negara besar yang terdiri atas empat kerajaan, yaitu:
Kedaulatan: Kedua Pedang Patah
Seiring abad pertengahan, pengaruh Kekaisaran Romawi Suci perlahan-lahan memudar di Eropa. Konsep Dua Pedang pun mulai ditinggalkan. Tentu, terdapat kaisar-kaisar hebat seperti Fredrick I Barbarossa (memerintah 1155-1190) dan cucunya Fredrick II (memerintah 1220-1250), yang menaklukan Sisilia dan membebaskan Yerusalem, walau hanya sebentar, pada Perang Salib Keenam. Terkadang mereka menerima upeti langsung dari raja-raja, seperti saat Henry VI, Kaisar Romawi Suci (memerintah 1191-1197), menangkap Richard I dari Inggris (alias Richard sang Hati Singa, memerintah 1189-1199) pada tahun 1193. Tentu, Richard memberinya dengan terpaksa, namun penting melihat bahwa hal itu memang terjadi. Raja Richard tidak dapat secara sah memberi upeti kepada penguasa lain di Eropa karena tidak ada penguasa Eropa yang gelarnya melebihi miliknya. Tetapi, kesempatan seperti berikut hanya dapat terjadi dalam keadaan tertentu.
Melampaui wilayah yang mereka kuasai, seperti Jerman dan Italia, otoritas yang dimiliki para kaisar sangatlah terbatas. Mereka mengadakan pengadilan dan mengumpulkan bala tentara, mengacukan diri Raja Jerman ketimbang Kaisar Romawi Suci. Para filsuf mulai mempertanyakan mengenai kedaulatan para monarki dan kota-kota. Dalam kata lain, setiap raja, ratu, dan negara-kota bebas memerintah wilayah mereka, dalam keadaan tertentu tanpa menyangkut sang kaisar. Dengan tetap menhormati gereja tentunya. Sarjanawan berpendapat bahwa ini adalah hak setiap negara anggota di dalam Kekaisaran Romawi Suci, dan bahwa Kekaisaran Romawi tidak tercermin sama sekali, dan bahwa mereka mengabaikan hukum dan budaya masing-masing orang. Apapun itu, intinya tetaplah sama: penolakan kedaulatan di luar kekaisaran oleh Eropa.
Fredrick I Barbarossa Diapit oleh Putra-putranyaUnknown Artist (Copyright, fair use)
Fredrick I Barbarossa Diapit oleh Putra-putranya
Unknown Artist (Copyright, fair use)
Banyak yang ingin menandingi pengaruh dari Kekaisaran Romawi Suci. Persaingan sangatlah sengit di Italia, dan sering kali oleh negara-kota yang telah mengajukan pendapat mereka mengenai kedaulatan yang sah. Sementara itu, monarki di Inggris dan Prancis menjelma menjadi adikuasa dengan raja-raja yang bangga, berani untuk merendahkan mereka yang meninggikan diri.
Para vasal di Jerman terus membelot sang kaisar. Pada 1078, saat Kotroversi Penobatan, para vasal terkuat yang mendengar Paus Gregorius mengucilkan Henry IV memilih seorang raja baru. Raja baru mereka mangkat dua tahun kemudian, dan Henry mengambil alih penuh kekuasaannya sejak itu. Namun, akibat dari peristiwa tersebut adalah bagaimana para pangeran Jerman memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi raja selanjutnya. Para calon kini harus memasang plakat dan menyuap para pemilih supaya tetap memegang kendali penuh. Mereka bahkan memutuskan hubungan antara sang Paus dan kaisar saat mereka menyatakan bahwa gelar kaisar akan langsung turun bagi siapapun yang mereka pilih sebagai Raja Jerman. Ini membuat penerusan tahkta lebih mulus, dan para pemilih memiliki pengaruh yang lebih besar, namun merusak gambaran kekaisaran yang mewakili dunia Kekristenan Latin.
Peradaban Eropa yang dibagi telah berubah. Voltaire menyebutnya “seperti sebuah Republik besar yang dipecah menjadi beberapa negara,” salah satunya yaitu kekaisaran ini. Kekaisaran ini, pernah, memiliki penguasa tituler, pertama kali dari gelar semacam ini. Bahkan saat Kaisar Karl V (memerintah 1519-1556) menyatukan Kekaisaran Romawi Suci dengan Spanyol bersama dengan jajahannya, dan membuat sebuah kekaisaran mendunia nampaknya bisa, negara-negara Eropa pun mengakui kedaulatannya dengan dengki. Undang-undang Perbandingan Gereja pada 1533 oleh Henry VIII dari Inggris (memerintah 1509-1547) yang merupakan usaha untuk menentang Gereja Katolik, dimulai dengan ia menyatakan bahwa “Wilayah Inggris ini adalah sebuah Kekaisaran”. Maksud dari ini untuk menunjukan bahwa Inggris tidak akan tunduk kepada hukum apapun selain hukum mereka sendiri. Ini menolak pemahaman bahwa ada orang yang lebih berkuasa selain raja. Tentu saja, ini ditujukan untuk sang Paus. Konsep abad pertengahan tentang kedaulatan tidak menyertakan sang kaisar, kini Henry VIII membawanya lebih jauh dengan menghapus sang Paus darinya. Dalam adu Dua Pedang ini, keduanya kalah.
Akan tetapi, Kekaisaran Romawi Suci tak sama seperti negara Eropa lain. Orang-orang luar mungkin tidak terlalu memberi banyak perhatian kepadanya pada Periode Modern Awal (sesudah 1500-an), namun sejarah kekuasaannya yang begitu rumit memberikan makna tersendiri bagi mereka yang tinggal di dalamnya.
Peta Kekaisaran Romawi Suci, 1648 MAstrokey44 (CC BY-SA)
Peta Kekaisaran Romawi Suci, 1648 M
Astrokey44 (CC BY-SA)
Charlemagne mengubah Eropa selamanya sejak ia dinobatkan di Roma pada Hari Natal tahun 800 M. Begitu juga dengan seorang biarawan Jerman bernama Martin Luther saat ia memaku 95 dalilnya di pintu Katedral Wittenberg pada tahun 1517. Luther memulai serangkaian peristiwa yang kini kita sebut sebagai Reformasi Protestan. Ini adalah alasan mengapa Inggris memutuskan hubungan dengan Roma, dan itu hanyalah satu dari banyak peristiwa yang dilakukan oleh orang-orang seperti Luther.
Agama mengoyak kekaisaran selama seratus tahun. Kata Protestan sendiri berasal dari para pangeran Lutheran yang menentang keputusan Katolik di Reichstag (rapat para penguasa di kekaisaran) pada 1529. Para Protestan itu mendirikan Liga Schmalkaldic dan menawarkan Perdamaian Augsburg (1555) yang resmi mengizinkan mereka untuk menjalankan keyakinan mereka, meskipun sebelumnya mereka telah kalah perang. Saat Belanda-Spanyol dan Prancis terlibat dalam perang saudara, para pangeran Katolik dan Lutheran mengadakan saling unjuk rasa tanpa saling berpihak untuk menjaga agar mereka tetap diperbolehkan untuk beribadah sesuai kepercayaan mereka masing-masing. Keadilan akhirnya hilang saat beberapa pangeran berpengaruh pindah ke Calvinisme, sebuah bentuk lain dari Protestanisme yang tidak disetujui di Perdamaian Augsburg, dan beberapa orang berselisih mengenai siapakah dari para calon yang akan mengatur para pangeran-beruskup nanti. Ketegangan ini akhirnya meletus pada saat sang kaisar tengah bertempur dengan para Ustmaniyah. Banyak sejarawan setuju akan Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) sebagai keruntuhan dari Kekaisaran Romawi Suci. Sebuah masa dimana semuanya turun dalam pertumpahan darah hingga tak ada yang tersisa darinya. Voltaire tentu menulis kutipan terkenalnya tak lama sesudah Perang Tiga Puluh Tahun.
Malangnya bagi orang-orang Kekaisaran Romawi Suci, negara-negara lain ikut campur dalam perang saudara mereka. Orang-orang berperang di dalam kekaisaran atas persoalan mengenai masa depan kekaisaran. Lain halnya dengan Anglikan Inggris, Lutheran Swedia, atau Katolik Prancis, kekaisaran ini menerima berbagai bentuk Kekristenan dan dapat melakukan hal ini sebab itu bukanlah hasil dari sebuah wangsa maupun dikuasai oleh sebuah kelompok. Hal tersebut tetap lepas dari sifat etnis dan agama, sebuah ciri khas yang dapat disertakan dengan budaya setempat tertentu. Pemahaman tersebut akhirnya menjadi sumber masalah, yang sering kali mengarah ke medan laga, namun pemahaman tersebut bertahan. Akhir dari kekaisaran pada awal abad ke-19 adalah hasil dari pemahaman baru nan berbeda dari sebuah kekaisaran.
Posted on 13 Desember 2013 by Admin
Kitab suci Katolik dan kitab suci Kristen Protestan memang ada perbedaan yang khas. Perbedaannya adalah pada jumlah kitabnya. Dalam Katolik ada 46 kitab Perjanjian Lama, sedangkan dalam Kristen Protestan hanya 39 kitab Perjanjian Lama. Sedangkan kitab Perjanjian Baru jumlahnya sama yakni 27 kitab. Ada 7 kitab yang diakui oleh Gereja Katolik sebagai kitab suci, sedangkan Kristen Protestan tidak mengakui 7 kitab tersebut sebagai kitab suci. Tujuh kitab itu sering disebut “Deuterokanonika”. Deuterokanonika berasal dari bahasa Yunani yang artinya “termasuk kanon kedua”, daftar yang kedua. Yang termasuk deuterokanonika adalah:
Sedangkan kitab Kejadian – Maleakhi disebut Protokanonika (kanon yang pertama) adalah sama-sama diakui oleh Katolik dan Kristen Protestan. Mengenai isi dan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia juga sama tidak ada bedanya, demikian juga dengan Perjanjian Baru.
Sehingga untuk membedakan dari segi sampul/kulit luarnya, Kitab Suci Katolik di sampulnya ditambahi tulisan Deuterokanonika, sering ditulis lengkap “Alkitab Deuterokanonika”, maksudnya Alkitab yang di dalamnya ada deuterokanonika.
Filed under: Katekese | Tagged: alkitab, Katolik, kitab suci, kristen protestan, perbedaan |
Kekaisaran Romawi Suci,[e] yang juga dikenal dengan nama Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman selepas tahun 1512, adalah negara dengan wilayah yang membentang dari Eropa Tengah ke Eropa Barat dan lazimnya dikepalai oleh Kaisar Romawi Suci.[19] Negara ini terbentuk pada Awal Abad Pertengahan dan berdiri selama hampir 1.000 tahun, sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1806 di tengah hiruk-pikuk perang-perang Napoleon.[20]
Pada tanggal 25 Desember 800, Paus Leo III menobatkan Karel Agung menjadi kaisar, dan dengan demikian menghidupkan kembali gelar itu di Eropa Barat selang tiga abad lebih sesudah Kekaisaran Romawi Barat tumbang pada tahun 476.[21] Meskipun sudah ditanggalkan pada tahun 924, gelar itu kembali disandang Otto Agung saat dinobatkan menjadi kaisar oleh Paus Yohanes XII pada tahun 962, dengan maksud untuk mencitrakan dirinya sebagai penerus Karel Agung dan raja-raja kulawangsa Karling. Penobatan Otto Agung menjadi tonggak sejarah yang mengawali kurun waktu tegaknya kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci secara berkesinambungan selama delapan abad lebih.[23][f] Dari tahun 962 hingga abad ke-12, Kekaisaran Romawi Suci tampil sebagai negara monarki terkuat di bumi Eropa.[25] Kelancaran penyelenggaraan negara bergantung kepada kerjasama yang rukun di antara kaisar dan para pangeran praja.[26] Kerukunan tersebut sempat terusik pada zaman kulawangsa Sali.[27] Ketangguhan negara dan keluasan wilayah Kekaisaran Romawi Suci mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-13 di bawah pemerintahan raja-raja kulawangsa Hohenstaufen, tetapi justru bentang wilayah yang kelewat luaslah yang kemudian hari mengeroposkan kedaulatannya.[28]
Para sarjana pada umumnya menjabarkan evolusi lembaga-lembaga dan asas-asas yang membentuk negara ini, serta perkembangan berangsur dari peran kaisar. Jabatan kaisar sudah lama terlembagakan sebelum negara ini dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, tetapi keabsahan kaisar sejak semula selalu ditumpukan pada konsep translatio imperii, yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu. Terlepas dari semua itu, sudah menjadi adat di Kekaisaran Romawi Suci bahwa seseorang menjadi kaisar karena dipilih oleh para pangeran-pemilih yang berkebangsaan Jerman. Secara teori dan diplomasi, Kaisar Romawi Suci dipandang sebagai tokoh yang dituakan di antara seluruh kepala negara monarki Katolik Eropa.
Ikhtiar Pembaharuan Negara pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 mengubah wajah Kekaisaran Romawi Suci. Ikhtiar tersebut melahirkan berbagai lembaga pemerintahan yang terus bertahan sampai negara ini bubar pada abad ke-19. Menurut sejarawan Thomas Brady Jr., Kekaisaran Romawi Suci selepas Pembaharuan Negara merupakan badan politik dengan keberlanjutan dan kemapanan yang luar biasa, serta "dalam beberapa segi mencerminkan pemerintahan-pemerintahan monarki di kawasan barat Eropa, dan dalam beberapa segi yang lain mencerminkan pemerintahan-pemerintahan elektif dengan persatuan yang renggang di kawasan tengah Eropa." Di negara bangsa Jerman yang sudah diperbaharui itu, alih-alih patuh begitu saja kepada kaisar, orang justru berunding dengan kaisar. Pada tanggal 6 Agustus 1806, Kaisar Frans II meletakkan jabatan dan secara resmi membubarkan Kekaisaran Romawi Suci, menyusul pembentukan Konfederasi Rhein oleh Napoleon sebulan sebelumnya, yakni perserikatan negara-negara Jerman yang berkhidmat kepada Prancis, alih-alih bertuan kepada Kaisar Romawi Suci.
Dari zaman Karel Agung, negara ini hanya disebut Kekaisaran Romawi. Embel-embel Suci (dalam arti "dikuduskan") mulai dipakai pada tahun 1157, masa pemerintahan Kaisar Friedrich Si Janggut Merah, sehingga negara ini mulai dikenal dengan nama Kekaisaran Suci, nama yang mencerminkan hasrat Friedrich untuk menguasai Italia dan lembaga kepausan. Nama "Kekaisaran Romawi Suci" dapat dipastikan sudah dipakai sejak tahun 1254.
Sebelum dinamakan "Kekaisaran Romawi Suci" pada abad ke-13, negara ini dikenal dengan beragam sebutan, antara lain universum regnum (kerajaan sejagat, kebalikan dari kerajaan kedaerahan), imperium christianum (kekaisaran Kristen), dan Romanum imperium (kekaisaran Romawi), tetapi keabsahan kaisar selamanya ditumpukan pada konsep translatio imperii,[g] yaitu anggapan bahwa kedaulatan tertinggi yang diemban kaisar adalah warisan peninggalan kaisar-kaisar Roma tempo dulu.
Di dalam lembaran maklumat yang terbit menyusul sidang Permusyawaratan Negara di Koln pada tahun 1512, nama negara ini berubah menjadi "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" (bahasa Jerman: Heiliges Römisches Reich Deutscher Nation, bahasa Latin: Sacrum Imperium Romanum Nationis Germanicae), yakni nama yang pertama kali dipakai pada tahun 1474 di dalam sebuah dokumen. Nama baru ini diadopsi bertepatan dengan hilangnya kedaulatan atas Italia dan Burgundia, tetapi juga dimaksudkan untuk menonjolkan peran penting dalam penyelenggaraan negara yang baru diberikan kepada praja-praja negara di Jerman selepas Pembaharuan Negara. Istilah "Kekaisaran Romawi Jerman" (bahasa Hungaria: Német-római Birodalom) yang lazim digunakan di Hungaria adalah bentuk ringkas dari nama baru tersebut.[43]
Pada akhir abad ke-18, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak lagi dipakai secara resmi. Bertolak belakang dengan pandangan-pandangan tradisional terkait nama tersebut, Hermann Weisert memaparkan di dalam sebuah hasil penelitian khazanah titulatur kekaisaran bahwa, meskipun digembar-gemborkan sebagai nama resmi negara di dalam banyak buku pelajaran, nama "Kekaisaran Romawi Suci Bangsa Jerman" tidak pernah diberi status resmi. Ia bahkan menunjukkan bahwa dokumen-dokumen yang memuat nama "Kekaisaran Romawi Suci" tanpa menyertakan embel-embel "Bangsa Jerman" berjumlah tiga puluh kali lipat lebih banyak daripada dokumen-dokumen yang menyertakannya.
Di dalam sebuah pembahasan terkenal mengenai nama negara ini, filsuf politis Voltaire berseloroh bahwa "negara yang dulu disebut dan masih saja menyebut dirinya Kekaisaran Romawi Suci itu sama sekali tidak ada suci-sucinya, tidak ada romawi-romawinya, malah bukan sebuah kekaisaran."
Pada zaman modern, negara ini secara tidak resmi kerap disebut Kekaisaran Jerman (bahasa Jerman: Deutsches Reich) atau Kekaisaran Jerman-Romawi (bahasa Jerman: Römisch-Deutsches Reich). Sejak dibubarkan sampai dengan tamatnya riwayat Kekaisaran Jerman, negara ini kerap disebut "kekaisaran lawas" (bahasa Jerman: das alte Reich). Mulai dari tahun 1923, kaum nasionalis Jerman awal abad ke-20 dan propaganda partai Nazi menyebut Kekaisaran Romawi Suci sebagai sebagai Reich "Pertama" (Erstes Reich, Reich berarti kekaisaran), disejajarkan dengan Kekaisaran Jerman sebagai Reich "Kedua", dan negara Jerman di bawah pemerintahan partai Nazi sebagai Reich "Ketiga".
David S. Bachrach berpendapat bahwa raja-raja kulawangsa Otto sesungguhnya membangun kemaharajaan mereka lewat pemanfaatan perangkat militer dan birokrasi maupun kekayaan budaya yang mereka warisi dari kulawangsa Karling, yang juga diwarisi kulawangsa Karling dari Kekaisaran Romawi menjelang keruntuhannya. Menurut David S. Bachrach, kemaharajaan kulawangsa Otto bukanlah suatu kerajaan purba binaan bangsa Jerman primitif, yang semata-mata dilanggengkan oleh ikatan-ikatan hubungan pribadi dan dijalankan oleh nafsu serakah orang-orang besar untuk menjarah lalu membagi-bagi hasil jarahan di antara mereka sendiri, melainkan sebuah negara yang tampil mengemuka berkat kemampuannya untuk menimbun sumber-sumber daya ekonomi, administratif, dan kebudayaan yang maju, yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin perangnya yang sangat besar.[48][49]
Sampai dengan akhir abad ke-15, negara ini pada teorinya terdiri atas tiga kubu utama, yaitu Italia, Jerman, dan Burgundia. Kemudian hari yang tersisa hanyalah praja-praja Kerajaan Jerman dan Bohemia, karena praja-praja di Burgundia sudah jatuh ke tangan Prancis. Meskipun secara resmi merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci, Italia diabaikan dalam ikhtiar Pembaharuan Negara dan terpecah-belah menjadi banyak praja kedaerahan yang secara de facto merdeka.[51] Status Italia pada khususnya berubah-ubah dalam rentang waktu abad ke-16 sampai abad ke-18. Beberapa praja semisal Piemonte-Savoye kian lama kian merdeka, sementara praja-praja lain kian lama kian pudar kemerdekaannya akibat kepunahan garis keturunan pangeran prajanya, sehingga sering kali bertuan kepada kulawangsa Habsburg dan cabang-cabangnya. Selain lepasnya praja Franche-Comté pada tahun 1678, batas-batas wilayah Kekaisaran Romawi Suci tidak banyak berubah sejak Perjanjian Damai Westfalen ditandatangani (mengakui lepasnya Swiss dan Belanda Utara, serta perlindungan Prancis atas Elzas) sampai negara ini dibubarkan. Sesudah perang-perang Napoleon berakhir pada tahun 1815, hampir semua praja Kekaisaran Romawi Suci menjadi anggota Konfederasi Jerman, kecuali praja-praja di Italia.
Sengketa antara Paus dan Kaisar
Gambaran tentang Dua Pedang, yaitu Paus dan kaisar sebagai perwakilan-pemimpin Kekristenan Latin, adalah tafsiran keliru dari sebuah kutipan di Kitab Lukas: “Kata mereka: ‘Tuhan, ini dua pedang.’ Jawab-Nya: ‘Sudah cukup.’” (22:37-38). Jika gambaran labil ini didasarkan dari Kitab Suci, maka unsur politik di dalamnya akan cepat goyah, dan Dua Pedang ini pun mulai bertengkar.
Pertama, Gerakan reformasi pada 1100-an membangkitkan semangat Gereja. Mereka melihat bagaimana Gereja tidaklah tegas, dipenuhi ketidaksucian, dan berusaha untuk menghentikan pendeta untuk menikah dan biarawan hidup dalam kemewahan. Reformasi Kluniak ingin menata ulang kehidupan para biarawan, dan Paus Gregorius VII ingin menerapkan moral baik kepada pendeta-pendetanya, bukan hanya biarawan yang hidup di biara. Gereja menolak untuk menjadi pengawas untuk siapapun yang sedang berkuasa, dan berkat hieraki organisasi barunya, gereja dapat melawan balik demi pengaruhnya.
Maket Biara KluniHannes72 (CC BY-SA)
Kedua, Bangsa Norman memasuki Italia pada awal 1000-an. Para pejuang garang ini rela bertempur untuk sang Paus, dan sebagai pendatang baru, mereka membuka otoritas yang gereja berikan. Mereka tidak selalu akur, namun pilihan untuk bersekutu dengan sang Paus selalu tersedia, dimana sang Paus dapat memiliki penguasa hebat lain untuk melindunginya, selain sang kaisar.
Sebuah sengketa terkenal antara sang Paus dan kaisar adalah Kontroversi Penobatan. Pada 1076 Masehi, Paus Gregorius VII (memerintah 1073-1085) mengucilkan kaisar Henry IV (memerintah 1084-1105) setelah berdebat mengenai siapa yang dapat memilih uskup Milan. Nampaknya sebuah keputusan yang tidak adil untuk sebuah perdebatan sepele, namun memilih uskup yang nantinya mengenakan simbol kekaisaran mereka adalah urusan otoritas yang penting. Malangnya bagi Henry, pengucilannya memberi jalan bagi para bangsawan kecewa untuk menggulingkan tahktanya. Ia membereskan masalah ini saat ia berjalan ke Canosa, kediaman Gregorius, dan berlutut di atas salju hingga Gregorius mengampuninya.
Akan tetapi, pertanyaan akan penobatannya berlanjut, banyak orang mati akibat pertempuran yang terjadi karenanya. Kontrodat Worms menenangkan masalah ini pada tahun 1122, namun ketegangan yang ditutupi oleh kedua tokoh ini terus ada. Tidak seorang pun dapat meninggikan otoritas mereka lebih dari satu sama lain, dan pertempuran berkobar lagi dan lagi. Pergumulan antara Paus Yohanes XXII dan Kaisar Louis IV digambarkan di dalam novel laris The Name of the Rose karangan Umberto Eco.
Paus Gregorius VII, Katedral PitiglianoDetunedweirdo (CC BY-SA)
Paus Gregorius VII, Katedral Pitigliano
Detunedweirdo (CC BY-SA)
Dua Pedang ini tetap saling menikam. Konsep ini tidak pernah berhasil dengan baik. Namun, sengketa janganlah dipandang sebagai kegagalan. Terdapat banyak sekali kontroversi yang menyangkut karena hal ini berarti sesuatu bagi mereka yang terlibat. Sang Paus dan sang Kaisar bagaikan dua petinju bertanding di dalam arena yang mereka bangun demi piala yang mereka buat. Mereka saling melawan dalam wilayah mereka sendiri untuk kekuasaan yang mereka sendiri telah dirikan. Sangatlah sulit – setidaknya bagi mereka – untuk berpikir di luar pemahaman tersebut. Bahkan, sekeras mereka berjuang menunjukan bagaimana pentingnya bagi mereka untuk memegang kekuasaan simbolis bagi peradaban baru yang mereka telah dirikan.